Mohon tunggu...
DANIS PRATIWI
DANIS PRATIWI Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Dampak Perjanjian WTO dan Liberalisasi Sektor Telekomunikasi

20 Oktober 2018   09:58 Diperbarui: 20 Oktober 2018   10:29 918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Dalam pembangunan infrastruktur global, terdapat banyak aspek dan komponen yang menunjang pembangunan tersebut. Mulai dari privatisasi telekomunikasi, perdagangan bebas telekomunikasi, liberalisasi dalam sektor telekomunikasi, ruang privatisasi, satelit industry hingga implikasi dari resim komunikasi global yang diliberalisasi. Dalam perjalanannya tentu aspek-aspek tersebut memiliki keterkaitan sehingga kompleksitas pembangunan infrastruktur global dapat kita rasakan. Dalam tulisan ini, kita akan lebih berfokus pada dampak perjanjian WTO pada komunikasi internasional dan liberalisasi sektor telekomunikasi sebagai beberapa aspek yang ikut mempengaruhi proses perjalanan pembangunan infrastruktur global.

Pada prinsipnya WTO merupakan suatu sarana untuk mendorong terjadinya suatu perdagangan bebas yang tertib dan adil di dunia. Dalam menjalankan tugasnya untuk mendorong terciptanya perdangan bebas tersebut, WTO memberlakukan beberapa prinsip yang menjadi pilar-pilar WTO. World Trade Organization (WTO) memiliki beberapa prinsip diantaranya adalah sebagai berikut: Prinsip perlindungan melalui tariff, Prinsip National Treatment, Prinsip Most Favoured Nations, Prinsip Reciprocity (Timbal Balik), Prinsip Larangan Perbatasan Kuantitatif. Pembentukan WTO turut diperkuat oleh Perjanjian Marrakesh yang menetapkan secara formal elemen-elemen dari WTO atau GATT yang baru. Melalui Perjanjian Marrakesh, WTO ditetapkan sebagai kerangka institusi internasional yang mengatur mengenai hubungan perdagangan antar negara anggotanya. Dalam piagam WTO juga dijelaskan bahwa WTO memiliki fungsi untuk memberikan fasilitas untuk mengimplementasikan, mengatur administrasi, dan operasi dari perjanjian perdagangan multilateral, serta menyediakan forum negosiasi antar negara anggota dalam kerangka hubungan perdagangan. Hal-hal ini ditujukan untuk mengelola sengketa yang mungkin terjadi antar negara anggota serta bekerjasama dengan World Bank dan IMF.

Indonesia merupakan negara anggota WTO berdasarkan ratifikasi Agreement Establishing World Trade Organization (WTO Agreement) melalui undang-undang 7 Tahun 1994. Dengan demikian Indonesia secara yuridis terikat untuk mengimplementasikan WTO Agreement tersebut, termasuk ketentuan-ketentuan Remidi Perdagangan,dalam hukum nasionalnya. Indonesia sebagai Negara anggota WTO diberikan kebebasan untuk membuat dan mengaplikasikan prosedur hukum nasionalnya sendiri yang secara otomatis harus konsisten dengan ketentuan- ketentuan WTO.

Perjanjian World Trade Organisation (WTO) telah mengakomodasi kepentingan negara berkembang melalui berbagai ketentuan yang disebut Special and Differential Treatment (S&D). Secara umum S&D merujuk kepada hak-hak khusus dan keistimewaan-keistimewaan yang diberikan WTO kepada negara berkembang, dan tidak diberikan kepada negara maju. Dimuatnya ketentuan-ketentuan S&D dimaksudkan untuk memfasilitasi proses integrasi negara berkembang ke dalam sistem perdagangan multilateral, dan untuk membantu negara berkembang mengatasi kesulitan-kesulitan dalam mengimplementasikan seluruh perjanjian WTO.

Berbeda halnya dengan Liberalisasi sektor komunikasi, banyak pendapat bahwa liberalisasi ialah eksploitasi atau pemanfaatan sumber daya demi kepentingan korporasi. Pernyataan ini tidak dibenarkan dan seharusnya dikaji terlebih dahulu konteks dan penerapannya terkhusus di Indonesia. Hal ini dikarenakan liberalisasi tidak selalu memiliki dampak buruk bagi masyarakat Indonesia. Salah satunya ialah liberalisasi dalam sektor telekomunikasi.

Cetak biru telekomunikasi 1999 dan UU No 36 Tahun 1999  menjadi aspek legal formal yang merupakan penyetujuan terhadap WTO Basic Telecommunciation Aggrement dimana investasi asing sebesar 35% (Niyla. 2009 : 53). Dengan adanya UU No 36 Tahun 1999 menjadikan deregulasi terhadap peraturan sebelumnya mengenai dominasi dua perusahaan telekomunikasi Negara. Sebelumnya, PT Telkom mendominasi pelayanan telekomunikasi di dalam negeri dan PT Indosat dalam sektor sambungan internasional.

Liberalisasi pada sektor telekomunikasi di Indonesia dapat dilihat dari kepemilikan saham masing-masing perusahaan telekomunikasi. Jika pada tahun 80-90an hanya terdapat dua pemilik besar dalam jasa telekomunikasi, dengan keduanya merupakan perusahaanmilik negara. Sedangkan pada tahun 2000-an muncul berbagai pemain baru dalam pasar sektor telekomunikasi Indonesia yang semakin menyemarakkan persaingan dalam sektor telekomunikasi.

Adanya Liberalisasi di sektor telekomunikasi tidak selalu berdampak buruk bahkan dapat berfungsi sebagai pemerataan. Pemerataan ini meliputi pemerataan pelayanan dan pemerataan harga. Dengan kata lain, liberalisasi di sektor telekomunikasi mendorong terciptanya pemerataan pelayanan telekomunikasi di daerah terpencil dan memberikan kesempatan bagi masyarakat semua golongan untuk memanfaatkan tarif murah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun