Kesenjangan disini ada pada titik temu dari berbagai macam komponen pendidikan diantaranya,
pemerhati pendidikan biasanya melihat dunia pendidikan sebagai dunia yang sangat penting, harus diutamakan, sebab masa depan sebuah negaraterletak pada dunia pendidikan, tetapi mereka juga ingin segera memperoleh output dari dunia pendidikan, output ini bermanfaat bagi kepentingan mereka sendiri tentunya bermanfaat bagi kepentingan bisnis mereka, atau kegiatan sosial mereka, mestinya mereka sadar bahwa output pendidikan agar menghasilkan Sumber Daya Manusia yang professional dibidangnya harus melalui sebuah proses, dan proses tersebut mencakup keseluruhan, dimulai dasi pendidikan dasar yang dia lalui sampai dengan pendidikan keahlian professional yang dia tekuni di perguruan tinggi, proses ini mempengaruhi pola fikir, pola sikap yang termasuk akhlak dan kepribadian mereka, dan tidak lupa masyarakat dan lingkungan dimana subyek didik tinggal juga amat sangat mempengaruhi pola fikir dan pola sikap mereka juga jadi disini kalau misalnya SDM sebagai hasil dari proses pendidikan yang ternyata mereka kurang professional atau punya pola sikap yang kurang diminati oleh pemerhati pendidikan selama mereka menyumbangkan keprofesionalan mereka pada masyarakat, maka hal itu bukanlah kesalahan dari pendidikan sebagai lembaga yang telah mendidik mereka menjadi tenaga professional.
Para penyusun kebijakan melihat dunia pendidikan secara teoritis, banyak mereka menyadur pola kebijakan pendidikan dari negara luar kemudian mereka terapkan di Indonesia, atau kalau tidak, diadopsi dan disesuaikan dengan keadaan di Indonesia, banyak diantara mereka yang pandai dan inovator membuat kebijakan yang luarbiasa bagus untuk mereka terapkan dalam dunia pendidikan, kebijakan ini mereka wujudkan dalam bentuk kurikulum pendidikan, petunjuk pelaksanaan pendidikan peraturan pemerintah (permen), standarisasi pendidikan dan lain sebagainya dimana mereka cukup memberikan senjata ampuh yang harus diterapkan bagi pendidik dalam memberantas kebodohan dan kemiskinan, selanjutnya mereka menyerahkan kurikulum dan segara perangkatnya kepada para guru dengan harapan, setelah guru memperoleh senjata ampuh dari penyusun kebijakan, mereka berharap output pendidikan menghasilkan SDM yang mumpuni, sempurna, professional. Lantas setelah mereka mengetahui bahwa SDM yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan atau sekolah, tidak sesuai dengan yang mereka harapkan mereka membuat kebijakan lagi, yang terakhir ini dengan membuat kebijakan sertifikasi bagi tenaga pendidik agar lebih professional. Lantas jika SDM tidak sesuai dengan yang mereka harapkan itu semua bukan pula salah mereka pembuat kebijakan, karena dalam hierarki ketenagaan kebijakan dari atas harus dilaksanakan, kebawah, dan terus kebawah, kita tidak boleh mengajukan keberatan, bahkan terkesan pembuat kebijakan kurang paham akan permasalahan-permasalahn dasar dari pendidikan yang dialami oleh para guru, Karena bila mereka ingin merubah kurikulum, atau kebijakan lain pendidikan mereka langsung saja merubahnya, tanpa melibatkan guru dari berbagai macam latar belakang lingkungan pendidikan mereka. bahkan kurikulum 2013 diakui secara sepihak mendapat sambutan yang positif dari masyarakat tanpa proses penelitian yang panjang dan akurat.
Para pendidik sebagai ujung tombak dari keberhasilan mereka memberi warna kepada para subyek didik agar mereka menjadi tenaga yang professional, sekaligus mempunyai akhlak yang mulia dan kepribadian yang mulia pula, mereka melihat dunia pendidikan secara realsitis, karena pemikiran mereka membumi dan bersatu dengan para subyek didik, mereka berfikiran praktis, apa yang dapat mereka lakukan untuk para subyek didik mereka agar dapat menguasai materi yang diberikan, mereka sangat faham dengan pola fikir murid mereka sebagai subyek didik, sehingga bila diibaratkan warna, dari sabang sampai merauke, dari desa sampai kota warna mereka akan lain bahkan antara kota satu dengan kota yang lain sangat amat berbeda, kebutuhan merekapun berbeda, lantas pertanyaanya, apakah senjata yang diberikan kepada para guru untuk memerangi kemiskinan dan kebodohan cukup ampuh untuk menghasilkan SDM yang kita idam-idamkan, bagaimana jika output pendidikan tidak ada perubahan yang signifikan, hal ini bukan pula murni kesalahan para guru, karena mereka terdiri dari berbagai macam latar belakang pendidikan, sosial, budaya, adat istiadat, sehingga kadang senjata ampuh yang mereka peroleh dari para pembuat kebijakan harus mereka modifikasi, harus mereka ubah, dan mereka sesuaikan dengan subyek didik.
Salah satu yang perlu mendapatkan perhatian besar adalah sarana dan prasarana pendidikan, dalam hal ini bukan hanya fasilitas sekolah saja, cukup banyak sebetulnya hal-hal yang menyangkut sarana dan prasarana yang kadang diabaikan dalam strategi kita memperoleh tenaga SDM yang professional, misalnya jumlah sekolah, kebutuhan daerah akan sekolah yang disediakan bagi masyarakat yang haus akan pendidikan, seyogyanya ada semacam survey kebutuhan masyarakat dan daerah, sebelum mereka mendirikan sekolah, terutama didaerah.
Jika kelima komponen ini dapat bertemu duduk dalam satu forum, lantas berdiskusi dengan satu tujuan untuk menghasilkan SDM yang professional, alangkah indahnya jika pemerintah pembuat kebijakan pendidikan sebagai seorang jendral yang harus menyusun starategi untuk melawan penjajahan yang berwujud kemiskinan dan kebodohan, memulai dari bawah, melakukan observasi, melibatkan para guru dari berbagai macam daerah dengan berbagai macam latar belakang sosial budaya, melibatkan masyarakat, mempelajari sarana dan prasarana daerah, kemudian dari berbagai macam kebutuhan daerah mereka membuat kebijakan yang benar benar divergen ( berbeda ) bukan divergen tetapi kenyataannya terstandard dan homogeen