Mohon tunggu...
Daniel SetyoWibowo
Daniel SetyoWibowo Mohon Tunggu... Tutor - Tutor kelompok belajar anak-anak

Seorang warga negara Indonesia yang mau sadar akan kewarganegaraan dengan segala ragam budaya, agama, aliran politik, sejarah, pertanian / kemaritiman tetapi dipersatukan dalam semangat nasib dan "imagined communities" yang sama Indonesia tetapi sekaligus menjadi warga satu bumi yang sama.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

(Tinjauan Buku) Prinsip Kesiapsiagaan, Agustinus: Hubungan Jiwa-Badan

28 Agustus 2019   12:30 Diperbarui: 28 Agustus 2019   12:36 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita bisa melihat sesuatu bukan karena keaktifan badan (misalnya mata) yang diteruskan ke otak dan diterjemahkan apa sesuatu itu. Kita (bisa) melihat karena keaktifan jiwa yang memakai badan. Demikian pula dengan pengetahuan rasional adalah suatu keaktifan jiwa. Pendekatan ini bisa diteruskan ke soal-soal ontologi.

Dari pendekatan ontologi-gnoseologis ditampakkan kedudukan jiwa, yaitu di tengah-tengah. Artinya, di bawah Dia kepada siapa ia (jiwa) harus tunduk dan di atas apa terhadap mana ia harus diutamakan. Lebih konkrit lagi, jiwa menjadi pengantara antara Allah Pencipta dan badan untuk membuatnya mengambil bagian dalam ide-ide ilahi, yaitu memberi hidup, bentuk, dan keteraturan anggota-anggota yang membuat badan menjadi badan.

Kenyataan
Badan bukan kenyataan manusia sebenarnya dan badan dapat dan akan mati. Jiwalah yang menjadi kenyataan manusia yang sebenarnya. Ia sadar kehadirannya kepada dirinya sendiri. Di situlah bersemayam kebenaran-kebenaran yang tidak terkalahkan oleh kekeliruan dan tidak dapat tidak ada di dalam jiwa, karena langsung mengungkapkan keberadaan jiwa sebagai nyata bagi dirinya sendiri.

Dari pemikiran ini, lantas kita memahami bukan hanya rasio, tetapi terutama apa dan bagaimana kehendak bekerja dan berfungsi. Ia berfungsi dalam hal dorongan hati atau renjana jiwa. Dikenal ada empat dorongan itu, yakni cupiditas (keinginan), timor (ketakutan), laetitia (sukacita), dan tristitia (dukacita). Keempat dorongan hati itu sendiri digerakkan dari dalam oleh amor atau cinta fundamental.

Sedangkan amor itu terarah pada dua hal, yaitu kepada Allah berupa amor Dei atau kepada dirinya sendiri atau duniawi berupa amor sui. Keterarahan amor ini tidak bisa lepas dari kondisi manusia yang berada dalam dosa asal. Dua jenis amor ini juga tidak bisa berjalan bersama : mencintai Allah sekaligus mencintai kenikmatan duniawi. Keduanya bertentangan. Untuk mencapai kesempurnaan, amor Dei harus menyesuaikan dan sama sekali mengatasi amor sui sedemikian rupa sehingga "amor Dei usque ad contemptum sui" : cinta kepada Allah yang sampai penghinaan diri.

Sebaliknya, amor sui akan melawan dan mengatasi Amor Dei sedemikian rupa sehingga "amor Dei usque ad contemptum Dei" : cinta diri yang sampai penghinaan akan Allah.

Dalam dua bentuk amor itu menghasilkan dua bentuk kehendak, yakni recta voluntas (kehendak lurus), yakni diarahkan oleh bonus amor (cinta yang baik) dan voluntas peversa (kehendak jahat) yakni diarahkan oleh malus amor (cinta yang jahat).

Kedua kehendak itu juga akan menimbulkan dua cara hidup, yaitu cara hidup yang mengarahkan segala sesuatu yang kita lakukan menuju kepada Allah dan cara hidup sebaliknya, yaitu menjauhkan kita dari Allah.

Menurut Kitab Suci, kedua cara hidup itu adalah keinginan menurut Roh dan keinginan daging. Hidup menurut keinginan daging adalah mencari kenikmatan jasmani, tetapi juga berarti melakukan hal-hal yang menampakkan kejahatan jiwa.

Keinginan Daging
Keinginan daging ini menuju kemerosotan badan. Maksudnya, bukan badan yang membuat jiwa menjadi pendosa, melainkan jiwa yang berdosa yang membuat badan bisa menjadi merosot. Dosa yang utama adalah keangkuhan dan kedengkian yang merupakan kedustaan setan dan yang dituruti oleh manusia serta membuatnya jatuh ke dalam kedustaan, keangkuhan, dan cinta diri.

Penilaian terhadap badan sendiri, haruslah ditempatkan dalam konteks pengendalian dorongan-dorongan hati dan hasrat-hasrat, kewaspadaan terhadap godaan-godaan jasmani dan bendawi dan sikap menjauhkan diri dari dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun