Suatu sore di Oktober 2018, saya bersama para kompasianer sedang berkumpul di Nusantara Hall di ICE BSD City, Banten. Kami menghadiri acara Kompasiana Nangkring dan saat itu masih menunggu kedatangan Pak Enggartiasto Lukita sebagai pembicara utama.
Sambil menunggu Pak Mendag yang terlambat cukup lama dari jadwal yang ditetapkan, kami dalam kelompok-kelompok kecil yang duduk berdekatan mengisi waktu dengan mengobrol sembari menikmati kopi dan makanan ringan. Obrolan tidak jauh dari kabar keseharian kami sebagai bloger atau kompasianer, mengalir begitu saja dalam suasana santai.
Pada kelompok kecil yang saya ikuti, salah satu kompasianer yang duduk di kiri saya menanyakan kabar kompasianer lain yang duduk di kanan saya mengenai tempat tinggal. Jawaban yang disampaikan kompasianer di kanan saya yaitu ia ngekos di salah satu daerah di Jakarta.
Ia menyebut angka satu jutaan rupiah sebagai biaya yang dikeluarkannya setiap bulan untuk kos di satu kamar dengan fasilitasnya. Saya cukup terkejut mendengar jumlah rupiah yang disebut oleh kompasianer yang usianya sekitar 30-an tersebut.
Angka-angka rupiah pun melayang-layang di dalam pikiran saya untuk membandingkan biaya kos tersebut dengan biaya cicilan bulanan rumah saya. Untuk memiliki rumah sederhana di Tangerang yang saya tempati saat ini, saya mengeluarkan 700 ribuan rupiah setiap bulannya. Rumah tersebut saya cicil sejak tahun 2009 lalu, dan tahun ini akan lunas.
Sepuluh tahun lalu saya memberanikan diri untuk membeli rumah sederhana. Tabungan yang saya miliki sebesar 7 jutaan rupiah, yang kemudian saya pergunakan untuk membayar DP rumah. Harga rumah yang ditetapkan oleh developer hampir 50 jutaan rupiah.
Untuk pembiayaan rumah, pihak developer menggandeng Bank Tabungan Negara (BTN) dengan produk KPR-nya. Dua tahun pertama saya mendapat subsidi sehingga hanya membayar cicilan sekitar setengah dari jumlah yang saya cicil 8 tahun berikutnya. Subsidi ini sangat membantu bagi saya yang memiliki penghasilan tak seberapa besar.
Harga Properti Melonjak Drastis
Salah satu masalah yang dihadapi generasi milenial saat ini yaitu sulitnya memiliki hunian. Salah satu penyebabnya adalah harga hunian atau properti yang cukup tinggi dalam 10 tahun terakhir.
Kenaikan harga setiap tahun tersebut menjadi kendala untuk mendapatkan tempat tinggal. Jika kenaikan harga tersebut seimbang dengan kenaikan pendapatan, tentu bukan menjadi masalah. Namun yang terjadi saat ini tidaklah demikian. 'Tidak semudah itu, Ferguso!' kata generasi milenial saat ini.
Gambaran sederhananya adalah harga rumah yang saya tempati. Tahun 2009 saya membelinya dengan harga hampir 50 juta rupiah, dan saat ini harganya melonjak menjadi hampir 400 juta rupiah atau 8 kali lipat.