Pembicaraan akhir-akhir ini banyak terkait dengan peraturan pemerintah untuk menaikan kandungan biodiesel dari yang sebelumnya antara B0 dan B10 menjadi biodiesel B20 per 1 September. Alasannya untuk menghemat devisa negara yang berasal dari pengurangan impor solar. Penghematan bisa mencapai 16 trilyunan rupiah per tahun.
Pertanyaan yang muncul adalah, apakah hal ini dapat berjalan secara efektif untuk mendapatkan tujuan penghematan devisa yang diharapkan ?Â
Jawabannya adalah tergantung dari faktor uncontrolable dan controlable yang mempengaruhi keputusan tersebut. Faktor uncontrolable dapat berupa fluktuasi harga minyak dunia maupun harga index pasar CPO.
Sedangkan faktor yg controlable adalah kualitas Fame yg disesuaikan dengan spesifikasi mesin, jalur distribusi yang disesuaikan dengan kebutuhan quantity setiap wilayah. Maupun kemampuan optimal dari pemerintah untuk memberikan subsidi terkait kesehatan keuangan negara.
Di sisi yang lain manajemen energi di negeri ini pun mesti dilihat dengan lebih menyeluruh untuk mendapatkan manfaat yang optimal. Misalnya penggunaan bahan bakar minyak banyak dipakai di pembangkit listrik. Sekitar 30 persen pasokan bahan bakar PLTU berasal dari BBM. Pemakaian ini dapat digeser ke batubara ataupun gas alam yang biaya produksinya lebih murah. Sebagai langkah antara sebelum masuk ke penambahan pemakaian bahan bakar nabati dan perluasan implementasi bahan bakar terbarukan seperti air, angin dan sinar matahari.
Edukasi penghematan energi perlu disampaikan pula ke seluruh masyarakat dengan cara cara inovatif.Â
Misalnya sebulan lalu, menteri ESDM sudah memberikan sinyal untuk mempermudah pemasangan solar panel di setiap rumah yang memungkinkan setiap rumah dapat menjual listrik ke PLN. Ini menjadi langkah inovasi penghematan energi yang masif bisa dilakukan diluar dari kampanye perubahan perilaku dalam menggunakan energi dengan lebih hemat.