Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Saya Dapat Merasakan Kepedihan Keluarga Korban, Karena Saya Pernah Berada di Posisi Seperti Mereka

11 Mei 2012   18:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:25 3212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_176647" align="aligncenter" width="620" caption="KOMPAS/RIZA FATHONI Reaksi keluarga korban pesawat Sukhoi Superjet 100 di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta setelah muncul berita lokasi serpihan pesawat ditemukan, Kamis (10/5/2012). "][/caption]

"Kamu tidak akan pernah merasakan apa arti sebuah kehilangan sesungguhnya, sebelum kamu mengalaminya sendiri" (kalimat yang diucapkan oleh seorang ibu yang kehilangan putri cilik tercintanya  akibat gempa bumi di Tangshan, Tiongkok, 1976, di dalam film After Shock <2010>)

--------------------------

Betapa amat sangat terpukulnya bathin keluarga korban kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100 itu ketika pertama kali mendengar berita tentang hilangnya pesawat tersebut pada Rabu, 9 Mei 2012. Apalagi kemudian sudah dapat dipastikan pada keesokan harinya bahwa pesawat itu telah jatuh (karena menabrak Gunung Salak, di wilayah Kabupaten Bogor). Dalam setiap peristiwa jatuhnya pesawat hampir dapat dipastikan bahwa 99 persen korban tewas. Kecil sekali kemungkinan ada yang selamat. Hanya mujizatlah yang bisa membuat dalam kecelakaan sebuah pesawat yang jatuh, meledak, lalu pecah berkeping-keping, masih ada korban yang selamat.

Ketika pertamakali melihat gambar foto kondisi serpihan pesawat Sukhoi seperti yang telah dirilis di media massa itu, para anggota keluarga korban itu langsung histeris dan menangis sejadi-jadinya. Bahkan ada yang langsung pingsan. Meskipun ketika bicara mereka mengatakan, mereka masih berharap adanya mujizat bahwa anggota keluarganya yang tercinta itu selamat. Tetapi realistis tentu suara hati mereka juga akan mengatakan bahwa hal tersebut hampir mustahil terjadi.

Mujizat itu memang tampaknya tak terjadi dalam peristiwa kecelakaan Sukhoi Superjet 100 ini. Tim SAR gabungan yang telah mencapai lokasi, Jumat petang ini, telah mulai menemukan dan mengevakuasi sejumlah jenazah dari lokasi kejadian. Tidak ditemukan tanda-tanda sedikitpun bahwa ada korban yang selamat. Para anggota keluarga yang sudahdua hari menunggu dalam keadaan lelah psikis dan fisik di Bandara Halim Perdanakusumah pun serempak pecah tangisnya begitu mendengar informasi tersebut.

Tak ada lagi yang bisa diharapkan lagi. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah berserah semuanya kepada Tuhan. Berteguh dalam iman, siap menerima kenyataan pahit tersebut. Tabah. Kehilangan untuk selamanya orang (-orang) yang tercinta itu. Suami, istri, anak, ayah/ibu, saudara, ataukah sahabat baik.

Kenyataan seperti itu tentu teramat sangat pahit sekali. Duka yang dirasakan sangatlah dalam sekali. Betapa tidak kehilangan itu terjadi dengan begitu sangat tiba-tiba. Sama sekali tidak terduga.Berbeda dengan kalau anggota keluarga yang kita cintai itu sebelumnya telah menderita sakit parah. Secara psikis relatif kita sudah siap menerima ketika waktunya tiba dia dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.

Oleh karena itu sangat wajar reaksi spontan para keluarga korban itu. Musibah yang datang dengan teramat sangat tiba-tiba itu menimbulkan kepedihan hati yang teramat sangat dalam. Semua itu bisa saya rasakan langsung. Karena saya sendiri pernah kehilangan salah satu anggota keluarga tercinta karena menjadi korban kecelakaan pesawatseperti ini.

Tidak terasa musibah itu telah terjadi sembilan belas tahun yang lalu, tetapi saya masih ingat detail peristiwa itu sampai sekarang. Seolah-olah baru saja terjadi. Setiapkali terjadi musibah jatuhnya pesawat terbang seperti yang terjadi pada pesawat Sukhoi ini saya selalu teringat kembali peristiwa tragis itu.

Peristiwa itu terjadi tepat pada Kamis petang waktu Indonesia Timur, 1 Juli 1993. Sebuah pesawat Fokker 28 (F28)  milik Merpati Nusantara Airlines jatuh di Bandara Jefman, Sorong, Irian Jaya . Empat puluh satu dari total empat puluh tiga penumpang dan kru pesawat itu tewas. Salah satu korban yang tewas itu adalah Rudy, kakak kandung saya, yang waktu itu berusia 36 tahun. Meninggalkan seorang istri dan empat orang anaknya yang masih kecil-kecil. Yang tertua, seorang putra yang masih berusia 10 tahun, dan si bungsu seorang putri yang masih berusia beberapa bulan.

*

Saya bukan seorang yang terlalu percaya dengan hal-hal yang berbau supranatural. Namun malam sebelum kejadian, saya memang bermimpi. Setelah musibah tersebut terjadi barulah saya berpikir bahwa mimpi tersebut rupanya merupakan suatu pertanda datangnya musibah tersebut. Dalam mimpi itu saya berada di dalam sebuah koridor. Semacam koridor sebuah hotel dengan sejumlah kamar. Ada yang pintunya tertutup, ada yang pintunya terbuka. Kemudian saya mendengar suara yang mengatakan kepada saya bahwa salah satu dari kamar-kamar yang ada itu untuk salah satu anggota keluarga saya.

Besok paginya, 1 Juli 1993, sekitar pukul sembilan WIB, saya bersama dengan kakak laki-laki tertua, dan seorang paman saya, mengantar Rudy ke Bandara Juanda, Surabaya. Dia akan berangkat dari Juanda, untuk pulang ke Fakfak, Irian Jaya. Karena panggilan tugas. Padahal sebenarnya dia sedang berlibur bersama keluarganya mengisi hari-hari cutinya.

Rudy adalah alumnus Fakultas Hukum Universitas Katholik Parahyangan, Bandung. Selesai menyelesaikan kuliahnya di Bandung, dia melakukan pilihan yang tidak lazim bagi warga keturunan Tionghoa. Apalagi pada di masa itu. Menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemda Kabupaten Fakfak. Katanya, dia mau mengabdi kepada kota kelahirannya itu. Prestasinya termasuk terbaik di kantor Pemda Fakfak. Antara lain menjadi salah satu orang kepercayaan bupati. Salah satunya dipercaya untuk membuat pidato-pidato bupati Fakfak. Dia kemudian menjabat semacam wakil dari Sekwilda Fakfak (?).

Ketika waktu itu mengambil cuti, Rudy membawa istri dan semua anak-anaknya berlibur ke Surabaya. Kemudian mereka semua ke Bandung untuk bertemu dengan keluarga orangtua istrinya yang asal Bandung itu. Pada waktu berada di Bandung itulah Rudy mendapat panggilan dari Sekwilda untuk pulang menggantikan posisinya sementara, karena yang bersangkutan hendak berangkat entah ke mana dan untuk apa (saya tidak pernah tahu).

Rudy memutuskan untuk segera kembali lewat Surabaya. Dia sempat mengajak anak sulungnya, yang juga adalah putra satu-satunya untuk ikut dengan dia pulang ke Fakfak. Rencananya nanti hanya beberapa hari di Fakfak, setelah itu kembali lagi ke Bandung via Surabaya. Tetapi istrinya keberatan. Akhirnya, Rudy tidak jadi mengajak putranya itu. Dia memutuskan sendirian pulang ke Fakfak. Entah apa yang terjadi seandai waktu itu putra satu-satunya itu ikut juga dengan ayahnya?

Dari Bandung, Rudy tidak langsung ke Fakfak. Dia masih sempat tinggal di Surabaya selama dua-tiga hari. Tapi sudah membeli tiket Merpati untuk tanggal 1 Juli 1993 itu. Sama sekali tidak menyangka kalau pada hari itulah hari maut baginya.

Malam sebelum berangkat, saya bersamanya sempat makan ayam goreng kegemarannya, Ayam Goreng Djakarta, di Jalan Tidar, Surabaya.

Malamnya, ketika tidur saya mengalami mimpi seperti yang saya ceritakan di atas. Besok paginya, sekitar pukul sembilan, saya bersama kakak laki-laki tertua saya, dan seorang paman saya mengantar Rudy ke Juanda. Ketika itu sama sekali tidak ada firasat buruk apapun.

Sore hari, sekitar pukul tiga atau empat petang WIB, kami mendapat telepon dari kerabat di Surabaya. Katanya, apakah kami sudah mendengar pesawat Merpati tergelincir di lapangan terbang Jefman, Sorong? Ya, waktu itu rupanya kerabat kami itu sengaja mengatakan yang tidak sebenarnya, dengan maksud agar kami jangan shock mendengar berita yang sebenarnya. Dia sengaja mengatakan pesawat Merpati itu hanya tergelincir, bukan jatuh. Meskipun begitu sudah cukup membuat kami was-was. Timbul firasat tidak enak.

Kami segera menghidupkan televisi untuk mengetahui berita selengkapnya. Saya masih ingat waktu itu televisi yang kami lihat adalah RCTI, yang telah mengirim wartawannya ke Sorong untuk meliput langsung apa yang sebenarnya terjadi di sana.

Lewat RCTI itulah kami mengetahui kejadian sesungguhnya. Dikabarkan pesawat Merpati dari Ambontelah jatuh di dekat landasan terbangBandara Jefman, Sorong. Pesawat tersebut menabrak sebuah bukit yang tingginya hanya setinggi pohon kelapa. Pesawat pecah menjadi tiga bagian besar, dan jatuh ke laut dangkal tidak jauh dari ujung landasan terbang. Katanya, tim SAR sedang melakukan pencarian terhadap korban jatuhnya pesawat itu. Lalu, di layar televisi diperlihatkan pecahan-pecahan dan serpihan-serpihan pesawat dan barang-barang lainnya yang berserakan. Sebagian terapung di permukaan air laut, sebagaian tampak di dasar laut, dansebagian lainnya lagi di pantai di dekat situ. Melihat kondisi pesawat seperti itu, kami semua langsung shock! Kami pun bersama-sama berdoa demi keselamatan Rudy. Namun demikian kami juga berupaya tegar dan pasrah apabila Tuhan menghendaki lain.

Untuk diketahui bahwa pada waktu itu untuk sampai ke Fakfak dari Surabaya, rute yang harus ditempuh adalah dari Surabaya ke Ujung Pandang. Transit, ganti pesawat jenis Fokker 28. Dari Makassar transit lagi di Ambon, kemudian ke Sorong. Menginap di Sorong semalam, keesokan harinya naik pesawat jenis Twin Otter berkapasitas sekitar 16 orang, ke Fakfak. Rute tersebut adalah rute Merpati Nusantara Airlines.

Mulai dari saat itu sampai beberapa hari kemudian, ketika menanti kabar kepastian nasib Rudy itulah kami semua mengalami kegaulan yang luar biasa. Air mata sepertinya tak henti-hentinya mengalir. Saya sendiri yang baru semalam sebelumnya makan malam bersama Rudy, dan pagi harinya, baru saja mengantarnya ke Bandara Juanda, kemudian sorenya mendapat kabar seperti itu, tentu saja mengalami pukulan bathin yang luar biasa.

Apa yang saya dan anggota keluarga lainnya rasakan pada waktu itu, saya yakin seperti itulah yang juga kini dirasakan oleh keluarga para korban jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 kini. Oleh karena itu sungguh keterlaluan kalau dalam keadaan tertimpa musibah seperti ini, masih ada saja orang yang menjadikannya sebagai lelucon dengan anekdotnya yang sama sekali tidak lucu. Bagaimana jika ada anggota keluarga si pembuat lelucon itu, suami/istrinya, orangtuanya, anaknya yang menjadi salah satu korban. Kemudian hal itu dibikin lelucon. Masihkah dia bisa tertawa?

Kamu tidak akan pernah merasakan apa arti sebuah kehilangan sesungguhnya, sebelum kamu mengalaminya sendiri.” Kalimat ini diucapkan oleh Li Yuanni (Fan Xu),   seorang ibu yang tiba-tiba kehilangan suami dan seorang putri ciliknya sekaligus akibat gempa bumi dahsyat di Tangshan, Tiongkok, pada 1976, dalam film After Shock (2010). Gempa bumi di Tangshan, Tiongkok itu benar-benar pernah terjadi pada 1976, menewaskan sekitar 200.000 orang.

Puncak dari kesedihan itu tiba pada saat terjadi penyerahan jenazah kepada keluarga korban. Sulit sekali menggambarkan suasana dan emosi yang campur-aduk pada waktu itu. Suasana yang sama, atau malah lebih dramatis adalah ketika almarhum dikebumikan.

Karena lokasi jatuhnya pesawat Merpati itu tidak sulit dijangkau, maka relatif proses evakuasi berlangsung cepat. Tapi bukan tim SAR yang pertamakali tiba di lokasi dan melakukan penyelamatan terhadap korban yang selamat, dan mengevakuasi sebagian korban, tetapi penduduk asli yang tinggal di sekitar lokasi itu.

Ada beberapa korban yang waktu ditemukan masih hidup, tetapi akhirnya meninggal dunia juga. Hanya ada dua orang yang benar-benar selamat, yaitu seorang anak kecil, dan seorang laki-laki dewasa. Anak kecil yang selamat itu kabarnya ditolong oleh seorang bapak-bapak yangjuga adalah salah satu korban. Mereka sama-sama tercebur ke air laut. Si Bapak berhasil mengangkat bocah itu dari dalam air yang ketika itu dalam keadaan pingsan, kemudian menyerahkan kepada penduduk setempat yang datang menolong. Kemudian bapak-bapak itu sendiri jatuh pingsan, dan akhirnya meninggal dunia. Ketika anak itu siuman, dia bercerita bahwa dia melihat ada malaikat yang datang menolongnya.

Beberapa tahun kemudian, saya mendengar anak kecil dan laki-laki dewasa itu telah meninggal dunia. Entah karena efek dari jatuhnya pesawat itu, ataukah karena penyebab lainnya.

Sedangkan kakak saya, Rudy, ditemukan penduduk setempat terapung di laut, masih dalam keadaan duduk di kursi pesawat. Sabuk keselamatan juga masih terpasang. Tetapi ketika ditemukan sudah dalam keadaan meninggal dunia. Dokter yang menangani jenazah Rudy mengatakan bahwa jenazah Rudy utuh. Tapi bagian belakang kepalanya ada yang remuk, dan salah satu kakinya patah.

Kecelakaan pesawat Merpati itu benar-benar membuat kota sekecil Fakfak heboh luar biasa. Karena korban tewas yang berasal dari Fakfak mencapai delapan orang sekaligus, termasuk kakak saya. Ada pula seorang suami yang kehilangan sekaligus istri dan dua orang anak kandungnya yang masih kecil-kecil.

Kenapa pesawat Merpati itu bisa celaka?

Bandara Jefman adalah sebuah bandara yang terletak di sebuah pulai tersendiri, terpisah beberapa kilometer dari daratan kota Sorong. Untuk mencapainya harus menggunakan kapal ferry atau speed boat. Kondisi lapangannya hampir sejajar dengan permukaan air laut. Membuatnya seakan-akan sebuah landasan pesawat terbang di sebuah kapal induk. Sekarang, bandara Sorong sudah pindah di daratan kota Sorong dengan nama Bandara Domine Edward Oso.

Pada waktu itu diperoleh informasi dari pihak Merpati bahwa waktu kejadian, cuaca di kota Sorong dan sekitarnya sangat buruk. Awan hitam pekat menyelimuti kota Sorong dan sekitarnya. Termasuk di angkasa Bandara Jefman. Saudara saya yang tinggal di Sorong juga mengatakan hal itu. Bahwa waktu itu memang cuaca sangat buruk, awan hitam pekat, angin sangat kencang, yang kemudian diikuti dengan turunnya hujan yang sangat lebat.

Di saat cuaca seperti itulah pesawat Merpati yang ditumpangi oleh Rudy, kakak saya itu memasuki wilayah udara Sorong. Konon, pihak menara pengawas sudah mengatakan kepada pilotnya bahwa cuaca tidak memungkinkan untuk dilakukan pendaratan. Disarankan untuk mengalihkan pendaratan ke Biak. Tetapi pilot bersikeras untuk tetap mau mendarat di Jefman. Mungkin dia yakin mampu melakukannya meskipun di tengah-tengah cuaca seperti itu.

Ketika pesawat terlihat menurunkan ketinggiannya dan berancang-ancang hendak melakukan pendaratan, ternyata arahnya salah. Pesawat bukan mengarah ke landasan terbang, tetapi melenceng ke arah permukaan air laut. Jika diteruskan pesawat akan mendarat di atas permukaan laut!

Mungkin karena pengaruh cuaca, pilotnya mengalami disorientasi, dia mengira dia sedang mengarahkan pesawatnya ke landasan, tetapi ternyata ke arah laut. Ketika dia menyadari kesalahan fatal tersebut, semua sudah terlambat. Pesawat terlihat berupaya keras untuk naik kembali. Suara mesin pesawat yang menderu keras terdengar pertanda bahwa pilot sedang memaksa mesin pesawat untuk bisa menaikkan kembali pesawat. Sementara itu di depannya terdapat sebuah bukit setinggi pohon kelapa.

Saksi mata mengatakan bahwa bagian depan pesawat berhasil naik melewati bukit itu, tetapi bagian ekor pesawat membentur bukit tersebut. Terdengar suara ledakan keras, pesawat terbelah menjadi tiga bagian besar. Semua penumpang dan barang-barang terpental keluar.Pesawat Merpati itu telah jatuh. Tragedi itu telah terjadi. Rudy telah meninggalkan kami semua, istri dan anak-anaknya, sembilan belas tahun yang lalu. Kami telah pernah merasakan bagaimana kehilangan anggota keluarga tercinta secara begitu tiba-tiba di dalam tragedi kecelakaan sebuah pesawat terbang. Oleh karena itu saya bisa merasakan bagaimana perasaan anggota keluarga korban jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 itu.

[caption id="attachment_176651" align="aligncenter" width="512" caption="Airmata berlinang, menangis histeris, keluarga korban jatuhnya pesawat Sukhoi Supertjet 100, di Bandara Halim Perdanakusuma. Kepedihan hati ini dapat saya rasakan, karena saya pernah berada di posisi seperti mereka (sumber gambar: detikfoto/detik.com)"]

13367594061539141575
13367594061539141575
[/caption]

[caption id="attachment_176652" align="aligncenter" width="512" caption="(Sumber: detikfoto/detik.com)"]

13367594451068672257
13367594451068672257
[/caption]

Saya hanya dapat berdoa, semoga Tuhan memberi tempat yang lagi bagi semua korban tewas, dan memberi ketabahan hati kepada semua anggota keluarga korban yang ditinggalkannya. Tetapi, kita juga harus realistis. Untuk kembali menjalani hidup yang normal. Masih ada anggota keluarga yang lain yang masih membutuhkan kita dan sebaliknya kita juga membutuhkan mereka dalam melanjutkan kehiudpan di dunia ini. Bagaimanapun semua itu telah terjadi. Waktu pulahlah yang akan membuat kita pulih kembali dari kesedihan yang teramat sangat itu. Kita tidak akan pernah melupakan kisah tragis seperti ini. Tetapi kita harus mengambil hikmahnya. Kita akan bisa menjadi semakin bersimpatik dan mempunyai rasa empati kepada sesama manusia. Terutama kepada mereka yang tertimpa suatu musibah.

Semoga juga Tuhan mau memberkati semua petugas SAR gabungan, agar pekerjaan mereka yang telah dilakukan dengan sepenuh hati dan sepenuh tenaga itu dapat berlangsung lancar dalam proses mencari, menemukan, dan mengevakuasi semua korban. Amin. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun