Pagi ini, linimasa X tiba-tiba riuh oleh gemuruh warna-warni batik. Ribuan foto OOTD batik membanjiri timeline, dari yang formal di kantor hingga gaya santai nongkrong di kafe. Perayaan Hari Batik Nasional 2025 bukan lagi soal kewajiban, tapi sudah menjadi ritual seru yang merayakan kearifan dan gaya hidup.
Ada cerita lucu juga yang bikin netizen ngakak, insiden  saltum alias salah kostum. Bayangkan! Ada dua rekan kerja tiba-tiba muncul dengan motif batik yang sama berujung saling ejek dan tawa renyah di grup chat kantor. Ini bukan hanya soal moda, tapi bukti bahwa batik sudah menjadi bagian hidup, dengan segala  drama dan kekompakannya.
Di tengah gegap gempita digital ini, sorotan khusus jatuh pada Batik Merawit Cirebon. Merawit, yang artinya halus atau rumit, benar-benar mengajak kita berhenti sejenak dan mengagumi keajaiban tangan para perajin. Setiap garis kecil yang setipis rambut ini dibentuk tanpa terputus, melambangkan ketekunan dan harmoni hidup yang tak terhingga. Prosesnya? Bukan sehari dua hari, tapi bisa berminggu-minggu, bahkan sampai berbulan-bulan, dengan canting tembokan khusus menari-nari melukis motif Mega Mendung dan Patran Kembang yang khas.
Harganya? Cukup fantastis di antara Rp 1,5 juta hingga Rp 5 juta, sesuai dengan kerumitan dan keindahan warna yang mewarnai kain. Tapi jangan salah, mahalnya pun masih kalah dengan Batik Tulis Keraton yang sarat sejarah dan nilai spiritual, dengan harga yang bisa menyentuh puluhan hingga ratusan juta rupiah.
Namun batik tak sekadar soal harga atau teknik. Anak muda sekarang membuktikan bahwa batik bisa hidup dan relevan. Mereka memadukan kemeja batik dengan jeans, sneakers, atau jaket kulit, menjadikan batik bukan hanya warisan, tapi simbol fashionable yang menggema di tengah generasi milenial dan Gen Z.
Â
Secara harga, Batik Merawit memang termasuk dalam kelas premium, namun masih ada jenis batik lain yang harganya bisa jauh lebih mahal, terutama Batik Tulis pedalaman Solo atau Yogyakarta dengan motif-motif larangan.
Batik jenis ini, seperti Parang Barong atau Udan Liris, tidak hanya dinilai dari kerumitan teknis, tetapi juga dari filosofi, sejarah, dan statusnya yang dahulu hanya boleh dikenakan keluarga keraton. Proses pembuatannya yang menggunakan teknik pewarnaan alam berulang serta nilai spiritual yang melekat membuat harganya mampu mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah, terutama untuk karya-karya tua dan langka.
Dengan demikian, meski Batik Merawit menonjol dalam hal kerumitan teknis dan keterampilan tangan, Batik Tulis pedalaman kerap unggul dalam nilai historis dan simbolis. Keduanya sama-sama merepresentasikan puncak seni batik Nusantara, di mana Batik Merawit mengandalkan presisi garis dan kesabaran, sementara Batik Tulis keraton menekankan makna filosofis dan kelangkaan motif. Pemilihan di antara keduanya seringkali bergantung pada apresiasi apakah lebih menghargai keahlian teknis yang kasat mata atau nilai budaya dan sejarah yang tersirat.
Salah satu perwakilan Kemenperin bilang, "Batik bukan cuma kain di lemari, tapi identitas yang harus terus dihidupkan." Kata-kata itu seperti panggilan, agar batik tak hanya bertahan sebagai warisan, tapi juga berkembang dengan inovasi desain dan teknologi.
Hari Batik Nasional 2025 mengajarkan kita dua hal utama: keindahan teknis dan ketelitian Batik Merawit, serta nilai historis dan spiritual Batik Keraton. Keduanya adalah mahakarya seni Nusantara yang memberi warna dan mempererat bangsa. Di balik setiap helai kain, ada cerita, perjuangan, dan kebanggaan yang patut dirayakan. Selamat Hari Batik 2025!