Mohon tunggu...
Agustinus Danang Setyawan
Agustinus Danang Setyawan Mohon Tunggu... Guru - Guru

Vortiter In Re, Sauviter In Modo || Teguh dalam Prinsip, Lentur dalam Cara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pendidikan Karakter Berbasis Kultur Sekolah

27 Oktober 2017   10:54 Diperbarui: 27 Oktober 2017   11:28 3475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sekapur Sirih

Ada sebuah kelakar dari pertemanan seorang warga Indonesia dan seorang warga Singapura. Katakanlah namanya Joko untuk orang Indonesia itu dan John, si bule Singapura. Karena kedekatan mereka, kritikan pun seringkali terucap satu sama lain. John berkata kepada Joko, "Hei Joko, kamu ternyata sekarang berbeda dari yang pernah aku lihat dulu ketika masih di Indonesia.

Di Singapura, sekarang kau bisa hidup tertip. Sampah bisa kau buang pada tempatnya dan rokok tak sempat satu kalipun kau hisap di jalanan Singapura. Hebat kamu! Apa sihresepnya?" Joko pun menimpali, "Hei John, jangan lebaylah! Ketika aku pulang, aku masih melakukannya kok!" Dengan seditit senyum dan kemudian tanpa basa-basi, Joko berganti bertanya, "John, tetapi mengapa malah engkau juga melakukan apa yang aku lakukan di Indonesia?" Dan dengan enteng pun si John menjawab, "Aku bosan hidup teratur!"Kelakar hanyalah kelakar.

Tetapi sejatinya, di balik kelakar itu tersembunyi misteri soal karakter diri. Yang menjadi problem dalam situasi tersebut adalah: Seberapa pentingkah karakter kepribadian diri itu di tengah-tengah budaya/kultur suatu masyarakat atau komunitas? Bagaimanakah budaya atau kultur yang baik itu mampu memotivasi setiap orang untuk konsisten mempertahankan serta mengembangkan karakter kepribadiannya? 

Sekolah adalah sebuah sistem pembelajaran. Setiap bagian atau aspek yang ada di dalam sekolah memiliki kekhasan dan senantiasa mempunyai komitmen untuk menjadi satu organ. Jika dicermati, sebagai sebuah sistem, sekolah memiliki tiga aspek pokok yang berkaitan erat dengan mutu sekolah, yaitu proses belajar mengajar, kepemimpinan dan manajeman sekolah, dan kultur sekolah. Ironi terjadi di sini. Peningkatan mutu sekolah selalu hanya diforsir pada aspek yang pertama, yaitu pada proses belajar mengajar. Bahkan, sedikit sekali atau jarang menyentuh aspek kepemimpinan dan manajemen sekolah. Dan ironinya, aspek ketiga yang berkaitan dengan kultur sekolah tak pernah disentuh sama sekali.

Memang, pilihan pada aspek pertama tersebut tidak terlalu salah, karena aspek itulah yang paling dekat dengan prestasi siswa. Namun, sasaran peningkatan kualitas yang hanya pada aspek proses belajar mengaja saja tidak cukup. Dengan kata lain perlu dikaji untuk melakukan pendekatan yang tidak lazim dan tidak populer yakni, meningkatkan mutu dengan sasaran mengembangkan kultur sekolah.

Masih teringat jelas kejadian beberapa tahun yang lalu ketika SMA Santo Bernardus 'diremehkan' oleh peserta didiknya sendiri. Sangat ironis tetapi memang demikianlah adanya. Muncul dari suara anak-anak, "Tenang saja, nanti pasti naik kelas kok!" Anak ternyata sudah dapat membaca problem sekolah yang pada waktu itu mudah untuk menaikkan seseorang sekalipun idikator kenaikan sudah sangat jelas ditentukan. Keadaan ini pun menjadi bumerang. Dalam periode-periode itulah sebagian besar peserta didik mulai menyepelekan dan tidak serius terhadap segala proses pendidikan yang terjadi di sekolah ini. Proses belajar mengajar menjadi hal yang tidak menarik dan bahkan mungkin membosankan. Bisa jadi malah mereka menganggapnya sebagai hal yang tak penting.

Apa yang salah dari kultur atau budaya di komunitas SMA Santo Bernardus Pekalongan ini? Dapat dipastikan bahwa meningkatkan mutu sekolah tidak serta merta hanya langsung menggagas soal bagaimana mengubah karakter anak.  Sekolah ini melewatkan satu pondasi awal yang vital, yaitu membentuk sebuah kultur atau budaya sekolah yang baik. Dengan terlewatnya satu tahap pembentukan kultur sekolah ini, maka akan sia-sialah setiap keringat dan cucuran air mata seluruh anggota komunitas sekolah yang hanya memfokuskan pada pembentukan karakter semata.

Membangun Pondasi Awal

Mengapa memikirkan kultur sekolah menjadi lebih penting bahkan mendesak dari pada sekedar tergopoh-gopoh memikirkan karakter-karakter yang akan dicetak? Jawabannya adalah karena kultur sekolah merupakan dasar atau pondasi awal bagi sebuah sistem sekolah yang akan dijalankan. Kultur sekolah ini menjadi lebih penting lagi karena SMA Santo Bernardus Pekalongan menempatkan nilai-nilai Kristianitas dalam visi-misinya. Sebenarnya, nilai-nilai kristiani itulah yang menjadi idealisasi dari kultur Bernardus yang hendak dihidupi. Hanya permasalahannya, membentuk sebuah kultur atau budaya hidup baik tidak semudah menaruh atau menuliskan isi visi-misi itu semata.

Dalam konteks pendidikan, kultur sekolah merupakan sebuah pola perilaku dan cara bertindak yang telah terbentuk secara otomatis menjadi bagian yang hidup dalam sebuah komunitas pendidikan. Sasaran pertama pendidikan karakter berbasis kultur sekolah mengarah pada pertumbuhan lembaga pendidikan sebagai komunitas moral.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun