Mohon tunggu...
Agustinus Danang Setyawan
Agustinus Danang Setyawan Mohon Tunggu... Guru - Guru

Vortiter In Re, Sauviter In Modo || Teguh dalam Prinsip, Lentur dalam Cara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jati Diri Keluarga

27 Oktober 2017   09:34 Diperbarui: 27 Oktober 2017   10:04 893
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Seekor  ayam betina kebingungan karena melihat satu telur yang ternyata berbeda  dengan terlurnya yang lain. Tidak hanya perbedaan bentuk, ukuran  ataupun warna yang dilihatnya, tetapi sekaligus perbedaan jenis. Tetapi  ternyata sang induk tidak ambil pusing dengan segala macam perbedaan  itu. Dieraminya semua telur itu dan akhirnya menetaslah beberapa telur,  termasuk satu telur aneh tadi! Alamak, ternyata memang benar dugaan sang  induk, 'itu bukan ayam!' Tetapi, tanpa harus berpusing-pusing untuk  menamai 'makluk aneh itu', proses 'peng-ayam-an' pun dimulai tahap demi  tahap. 

Maka, bebek pun 'terpaksa' menjadi ayam".Dari sepenggal ilustrasi  tersebut, tedapat tiga poin penting yang dapat menjadi kritikan atas  proses pembentukan keluarga yang sedang kita jalani sampai sekarang ini.  Secara lebih khusus, situasi itu ingin menyindir sekaligus memberi  wacana kepada kita tentang usaha penemuan jati diri dalam konteks  pra-masyarakat (baca: keluarga) dan potensi pengungkapan keterlibatan  jati diri dalam konteks yang lebih luas (masyarakat). Jadi, terdapat dua  hal yang perlu dicermati, yaitu pertama memahami / mengenali jati diri,  dan yang kedua adalah aktualisasi jati diri dalam masyarakat  (lingkungan hidup).Tiga hal dalam ilustrasi di atas adalah lingkaran  setan (vicious circle) yang seringkali menjadi habitus negatif  dalam proses hidup ini. 

Anehnya, seringkali habitus negatif ini tidak  tersadari dan malah menjadi 'kebanggaan sempit' dari sebuah keluarga.  Dan tentunya, koreksi ini menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi  orang tua sebagai pemegang keteladanan.'Tidak ambil pusing'Baiklah kita  dipusingkan sejenak oleh beberapa pertanyaan ini: Apakah atau siapakah  jati diri orang tua itu? Apakah dan bagimana nilai-nilai hidup itu?  Apakah visi dan misi keluarga (kristiani) itu? Satu pertanyaan dasar  sebelum menjawab beberapa pertanyaan nyleneh tadi, "Apakah  pertanyaan-pertanyaan itu pernah terbersit dalam benak kita?" Dan  ternyata, kita malah terjebak dalam paradigma sempit "emangnya gue  pikirin!?" 

Atau jangan-jangan kita ini penganut prinsip 'asal hidup'  yang tak punya arah?!Keluarga adalah dasar hidup bagi setiap manusia. Di  dalam keluarga, nilai-nilai kemanusiaan mulai dipelajari dan dimaknai  satu demi satu. Di dalam proses itu, peran sentral berada di pundak  orang tua untuk dapat memperkenalkan nilai-nilai kehidupan sekaligus  memberi teladan bagaimana nilai-nilai itu dijalankan dan dimaknai.Jika  dikatakan bahwa orang tua adalah tokoh sentral dalam keluarga, hal ini  mau menekankan bahwa yang menjalankan dimanika dasar ini adalah  kombinasi antara ayah dan ibu yang didasari oleh keharmonisan dan cinta  kasih. Tidak bisa lagi dikatakan dan dibeda-bedakan siapa yang mesti  bertanggung jawab, apakah hanya bagi sang ayah atau sang ibu. Dalam hal  ini, tentunya tidak ada pembedaan seperti itu. 

Ayah dan ibu bekerja sama  secara harmonis untuk bertanggung jawab atas segala macam penanaman  nilai kemanusiaan. Situasi genting akan terjadi ketika orang tua mengabaikan atau melupakan tanggung jawabnya sebagai penyalur  keteladanan. Lebih parah lagi ketika ternyata orang tua tidak hanya melupakan tetapi malah tidak mengetahui nilai-nilai apa yang mesti  diteladankan kepada anak-anaknya. Dengan kata lain, orang tua sama sekali tidak punya ketertarikan atau sense of belonging terhadap  keprihatinan ini. Wajar saja bila anak tidak akan pernah memiliki  pegangan atau prinsip hidup yang jelas jika mereka (anak-anak) tidak  pernah mendapatkan sebelumnya dari orang tua mereka. 

Dapat dibayangkan,  jika penanaman nilai-nilai umum kemanusiaan saja tidak terwujud apalagi  nilai-nilai kristiani yang seharusnya dapat menjiwai setiap aspek kehidupan orang Katolik?! Lalu, apakah artinya 'manusia' dan 'manusia  Katolik' itu?'Peng-ayam-an'Bisa jadi, Tuhan Allah telah menetapkan sejak  semula mau menjadi apa diri kita ini. Tetapi masalahnya, kita tidak  mempunyai kemampuan seperti Tuhan untuk dapat menilai dan mengetahui  karakter atau kepribadian seorang bayi yang baru saja lahir dari  kandungan sang bunda. Maka, inilah titik kritis bagi sebuah proses  penanaman nilai-nilai kemanusiaan (termasuk juga nilai-nilai  kristiani). 

Orang tua perlu menyadari bahwa bayi adalah sosok manusia utuh yang masih punya keterbatasan. Dalam hal ini, yang menjadi  keterbatasan bayi adalah 'ketergantungannya' kepada orang tua. Keterbatasan atau kelemahan bayi perlu di-cover oleh orang tuanya. Teori  Tabularasa tidak dapat (bahkan tidak boleh) diterapkan pada sang bayi.  

Bayi bukanlan selembar kertas putih yang dapat ditulisi dan digambari  semaunya sang pemegang pena.Karakter sebagai manusia utuh yang sempurna  yang memiliki nilai-nilai luhur kristiani perlu menjadi 'makanan pokok'  sang bayi. Jangan sebailiknya, orang tua malah membiarkan sang bayi  memakan apa saja yang dijumpainya. Yang menjadi fokus dalam tahap ini  adalah keteladanan orang tua dalam menjalani hidup sesuai jati dirinya.  Ilustrasi ayam-bebek menjadi contoh konkrit bagi orang tua. Jati diri  seekor bebek tidak dapat tumbuh secara alami. Yang dijumpai adalah bebek  yang ke-ayam-ayam-an. Jati diri seeokor bebek tidak akan pernah tumbuh  secara alami karena salahnya keteladanan dari sang induk ayam. Lantas  bagaimana proses keteladanan itu sebenarnya? 'Terpaksa' Sering kita  terjebak oleh kata 'harus' yang bahkan diselipi oleh nada amarah tinggi.  Dan ternyata efeknya bukan respek positif tetapi malah sebuah penolakan  atau akumulasi protes anak kepada orang tuanya. Bisa jadi ini adalah  sebuah wacana baru: bukan mengharuskan ini-itu tetapi memberi alasan mengapa dipilih ini atau itu. Nilai-nilai kemanusiaan atau kehidupan  lebih dari sekedar menanamkan slogan 'harus' atau 'boleh tidak boleh' tetapi mengarahkan pada tataran kapasitas 'baik-tidaknya'. 

Dari sinilah,  sang anak mulai terpacu dan terangsang untuk memahami lebih lanjut  tentang sesuatu. Dengan demikian, hati sang anak akan terbuka dengan  sendirinya untuk memahami dan mencintai sesuai tanpa harus merasa  terpaksa.Ketika nilai-nilai kristiani mulai diteladankan kepada sang  anak, sebenarnya muncul harapan dalam hati kecil kita, 'semoga kelak  engkau menjadi orang Katolik yang tahan banting'. Itulah segi ideal  proses penanaman nilai keluarga kristiani. Tetapi segi idelal itu sering  berbalikan dengan kenyataan. Banyak dijumpai orang yang terpaksa  menjadi Katolik. Tentunya sudah dapat dipastikan bahwa ia pasti tidak  memahami apa itu nilai-niali Kristiani. 

Suatu keterpaksaan tidak akan  pernah memunculkan suatu rasa kecintaan terhadap sesuatu. Apakah Yesus  itu merasa terpaksa disalib? Tentu tidak. Yesus menghendaki disalib  karena rasa cinta-Nya kepada manusia.Sejarah Kekristenan di Jawa telah  membuktikan! Romo van Lith, SJ yang dulu berkarya di Muntilan dan  sekitarnya tidak pernah memaksa orang pribumi untuk menjadi Katolik.  Tetapi sebaliknya, dalam karnyanya, Romo van Lith tidak mengucap dengan  kata 'kamu harus menjadi Katolik' tetapi 'aku melakukan ini (karya  karitatif) karena kasih dan karena aku adalah seorang Katolik'. Itulah  yang disebut keteladanan. Keteladanan muncul sebagai sikap proaktif yang  sudah diselimuti dan didasari oleh penghayatan akan nilai kristiani.  Dari situ orang lain akan menangkap 'o ... seperti itu yang disebut orang  Katolik itu'. 

Dari sinilah ketertarikan muncul, yaitu ketertarikan yang  didasari oleh rasa cinta, dan bukan keterpaksaan. Menyebarkan Nilai Kristiani Inilah tahap yang tidak kalah penting. Nilai-nilai kemanusiaan  dan nilai-nilai kristiani yang sudah tertanam dalam diri itu sekarang  diuji di dalam masyarakat. Apakah seseorang dapat menampakkan jati diri  Katolik yang tahan banting dalam setiap aspek kehidupan? Ini adalah  tantangan yang tidak mudah khususnya dalam konteks lingkungan hidup yang  plural ini. Setiap orang Katolik memiliki misi hidup yang sama, yaitu  menyeberluaskan nilai-nilai Kristiani (salah satunya: kasih). Inilah  konsekuensi sebagai seorang Katolik!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun