Mohon tunggu...
Damarra Kartika
Damarra Kartika Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Komunikasi dengan Konsentrasi Studi Komunikasi Massa dan Digital Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Gadget

Digital Writing Harus Dimulai dari Digitally Literated

31 Agustus 2020   15:54 Diperbarui: 31 Agustus 2020   15:42 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Situs layanan manajemen konten Hootsuite bekerja sama dengan We Are Social menyajikan data terkait tren untuk membantu masyarakat memahami internet. Berdasarkan "Data Tren Internet dan Media Sosial di Indonesia Tahun 2020" (Riyanto, 2020), terdapat 175,4 juta orang yang menggunakan internet dan 160 juta orang aktif dalam media sosial. Beragam hal dilakukan orang dalam internet, mulai dari membaca, menulis, berinteraksi, berkomunikasi, membagikan konten, dan sebagainya. Kebebasan inilah yang justru perlu diperhatikan dalam internet.

Perkembangan teknologi yang mempermudah individu membuat konten dalam internet misalnya, hal ini menyebabkan banyak konten dapat ditemukan di internet. Penemuan beragam konten yang terkadang nyeleweng membuat masyarakat terutama orang tua menjadi was-was, apabila anak-anak mereka menjadi satu dari sekian banyak "korban internet" akibat kurang ter-literasi, terlebih secara digital. Pembahasan mengenai pentingnya literasi digital banyak digemakan bahkan dalam berbagai penelitian. Topik literasi digital akhirnya sering dikaitkan dengan kemampuan individu untuk memilah informasi dari beragam literatur digital. Padahal, lebih jauh dari itu, apabila seorang individu memiliki pemahaman yang baik terkait literasi digital, maka hal tersebut akan berdampak pada penulisan digital yang baik pula.

Penulisan digital yang dilakukan di ruang penulisan dengan basis jaringan cukup sulit untuk didefinisikan karena teknologi, yang menjadi unsur penting dalam konsep penulisan digital, terus berkembang dan berubah dengan cepat. Teknologi pula yang awalnya memberikan pengaruh terkait bagaimana cara seseorang menyusun atau mengemas suatu pesan, dengan tujuan meningkatkan minat pada audiens secara lebih luas. 

Pesan ini harus dikemas dan disampaikan dengan komposisi tertentu karena memiliki target tertentu, yakni pembaca melalui gawai. Perubahan ritme hidup masyarakat yang didasarkan pada perkembangan zaman menjadikan segala sesuatunya harus menjadi serba cepat termasuk dalam membaca. Oleh karenanya, bacaan yang dituliskan secara digital biasanya akan dibaca pula secara cepat melalui gawai yang terhubung ke internet.

Catherine Byron (DeVoss, Aadahl & Hicks, 2010) merumuskan penulisan digital sebagai penulisan kreatif dengan menggunakan perangkat digital sebagai bagian dari konsep dan penyampaian pesan. Seakan divalidasi, definisi tersebut sejalan dengan yang tertulis dalam Kenneth Goldsmith (Uncreative Writing: Managing Language in the Digital Age, 2011) di mana penulisan digital dipandang sebagai suatu respon bagi lingkungan digital dan di dalamnya memuat unsur kesempatan, prosedur atau lebih umum kita sebut tata cara maupun etika, serta estetika atau keindahan, yang masing-masing dapat disesuaikan dengan konteks perspektif penulisan digital tersebut.

Berdasarkan pengertian sebelumnya, maka penulisan digital tetap merupakan bagian dari menulis, yang dianggap sebagai sebuah aktivitas yang kompleks. Menulis yang dianggap merupakan elaborasi dari belajar memahami dan bentuk partisipasi secara sosial dalam masyarakat, dibawa pada tingkatan yang lebih sulit ketika penulis diharuskan tidak hanya memikirkan konten, namun juga integrasi dengan peralatan digital, kreativitas dalam penyajian, dan estetika. Penulis harus memikirkan kembali bagaimana sebaiknya pesan dalam tulisan tersebut disampaikan.

Prosedur atau tata cara juga penting diperhatikan, terlebih lagi etika. Maraknya kasus dalam internet terutama media sosial yang disebabkan karena lalai pada etika, sampai menempatkan pemerintah Indonesia pada keputusan untuk membuat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Di dalamnya terdapat beragam aturan yang mengatur kehidupan orang dalam bermain di dunia maya. 

Tidak hanya media sosial, bagi yang berprofesi sebagai jurnalis misalnya, hal-hal terkait etika dalam menulis di dunia digital juga menjadi poin penting untuk diperhatikan. Tidak diperkenankannya mengumbar identitas korban, harus menuliskan hanya berdasarkan fakta bukan asumsi, dan beragam aturan lainnya yang dirangkum dalam Kode Etik Jurnalistik, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penulisan digital.

Coiro, Knobel, Lankshear, dan J. Leu (Handbook of Research on New Literacies, 2008) menjelaskan bagi anak-anak, digital writing akan membantu mereka untuk menangkap gambaran terkait keadaan atau lingkungan komunikasi di sekitar mereka yang terus menerus berubah. Karena terdapat kemampuan untuk menganalisis informasi dan menuliskan kembali berdasarkan pemahaman yang harus dimiliki oleh anak-anak. Sementara itu beberapa kemampuan yang sebaiknya dimiliki individu dalam melakukan penulisan digital, antara lain (DeVoss, Aadahl & Hicks, 2010):

  • Play yang meminta penulis untuk bereksperimen, melakukan dan mencoba banyak cara untuk menyelesaikan suatu masalah dan akhirnya dapat melakukan penulisan digital.
  • Performance, yang berarti kemampuan terkait apa yang ditampilkan, dalam konteks improvisasi dan mencari fakta-fakta yang menjadi dasar penulisan digital.
  • Simulation, yakni kemampuan untuk menginterpretasikan sesuatu dan mensimulasikannya dalam imajinasi. Hal ini akan membantu penulis untuk membayangkan masalah secara lebih luas dan bagaimana ia harus mengembangkan konten penulisannya.
  • Appropriation, di mana penulis diminta untuk mahir dalam menggabungkan konten media, baik secara estetika maupun integrasi dengan teknologi.
  • Multitasking yang merupakan kemampuan untuk membagi fokusnya dalam beberapa hal dengan tetap memperhatikan kerincian atau detail. 
  • Negotiation yang mana penting bagi penulis untuk mampu memperoleh beragam perspektif yang berbeda melalui berbagai pergaulan. Sehingga hal ini akan memperkaya penulis dalam melihat dan membuat kesimpulan terkait topik yang sedang dikerjakannya.
  • Visualization yang berarti memvisualisasikan data maupun tulisan tersebut sehingga lebih mudah untuk dibaca. Mengingat pentingnya aspek visual dalam menarik minat pembaca untuk membaca terlebih dari sebuah gawai.

Daftar Pustaka:

Coiro, Julie, Knobel, Michael, Lankshear, Colin, and J. Leu, Donald. (2008). Handbook of Research on New Literacies. New York: Taylor & Francis Group, LLC. Retrieved from Google

Goldsmith, Kenneth. (2011). Uncreative Writing: Managing Language in the Digital Age. Columbia: Columbia University Press. Retrieved from Google

Hootsuite (We are Social): Indonesian Digital Report 2020. Andi.Link. Retrieved from hootsuite-we-are-social-indonesian-digital-report-2020

National Writing Project, DeVoss, D. N., Eidman-Aadahl, E, & Hicks, T. (2010). Because Digital Writing Matters: Improving Student Writing in Online and Multimedia Environments. San Francisco, CA: Jossey-Bass, A Wiley Imprint. Retrieved from  from Ayo Menulis FISIP

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun