Ketika membaca postingan teman di medsos tentang kepergian Buya Ahmad Syafii Maarif, pagi jelang Jumat (27/5/2022) saya terpaku.
Ingatan saya menerawang, jauh kebelakang. Ingat saya, betapa guru bangsa yang satu ini menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan.
Indonesia-nya utuh, tak sumbing. Dan itu pun kuat bagaikan batu karang. Tercermin dari sikapnya secara lisan dan tulisan.
Membaca Buya Ahmad Syafii Maarif, tak bisa dipisahkan dari komitmennya tentang Indonesia dan Muhammadiyah. Baginya, Muhammadiyah dan NU adalah benteng kuat yang menjaga Indonesia dari rong-rongan paham keagamaan radikal.
Sama dengan Abdurrahman Wahid dengan NU. Kedua tokoh bangsa ini pun berkawan, saling mengisi satu sama lain.
Lewat Muhammadiyah dan NU, kedua tokoh ini terus menyuarakan pentingnya menjaga perdamaian. Bahwa Islam Indonesia adalah Islam yang rahmatan lilalamin.
Bisa kuat dan hidup saling bergandengan. Itulah pentingnya nasionalisme, ketimbang memformalkan syariat Islam itu sendiri di lembaran negara.
Lewat pergulatannya yang panjang dan mendasar di Muhammadiyah, Buya ingin masyarakat Indonesia jadi yang terdepan dalam membela ke-Indonedia-an di hadapan dunia.
Buya kelahiran 31 Mei 1935 di Sumpur Kudus, Sumatera Barat ini adalah panutan. Ulama kharismatik, punya jemaah dari bebagai keyakinan dan agama.
Dia sosok yang diterima semua kalangan, dan itu adalah keunggulan Buya, yang tak mudah mencari tokoh sebanding dengannya.