Sejak dulu, malamang atau membuat lamang merupakan warisan budaya masyarakat Ulakan, Kabupaten Padang Pariaman. Lamang, sebuah makanan yang terbuat dari beras pulut yang ditanak pakai buluah atau bambu ini selalu ada dalam acara peringantan Malid Nabi Muhammad SAW, dan prosesi mangaji kematian, serta kenduri menyambut datangnya bulan puasa.
Khalifah Syekh Burhanuddin Ulakan, Heri Firmasyah Tuanku Khalifah menulis di akunnya, bahwa lamang mengandung filosofi sejarah di dalam syiarnya Islam di Minangkabau yang di kembangakan oleh al mukarram Syekh Burhanuddin Ulakan. "Tradisi malamang sangat erat hubangannya dengan Syekh Burhanuddin Ulakan semenjak 400 tahun yang lalu," tulis dia.
Menurutnya, pada suatu hari saat beliau Syekh Burhanuddin diundang oleh masyarakat Ulakan dalam suatu jamuan. Kala itu masyakat belum mengetahui Islam secara kaffah, dan belum mengetahui halal dan haramnya suatu makanan. Ketika seluruh yang hadir di dalam jamuan tersebut makan enak, Syekh Burhanuddin tidak mau memakan suatu masakan di dalam jamuan itu.
"Di saat beliau tidak memakan satu pun makan di dalam jamuan itu, masyarakat bertanya kepada Syekh Buhanuddin, kenapa dia tidak mencicipi atau memakan jamuan. Sementara kita sudah sengaja untuk menjamu Syekh," cerita Heri Firmansyah Tuanku Khalifah ke-15 Syekh Burhanuddin dalam akun pribadinya.
Syekh Burhanuddin hanya tersenyum dan berkata, "Bukan saya tidak mau mencicipi atau memakan jamuan ini. Akan tetapi kurang enak bagi saya masakan dan makan seperti ini. Kemudian masyarakat bertanya terus. Masakan apa yang paling enak bagi syekh, kemudian beliau menjawab lagi, masakan yang paling enak itu bagi saya adalah memasak beras ketan yang diisikan ke dalam buluah.
Kemudian beras ketan itu diberi santan kelapa dan dibubui dengan garam. Itulah lamang. Di sinilah salah satu bentuk dakwah Syekh Burhanuddin Ulakan, yakni dengan metode dakwah "malereang, rambut tak putus tepung tidak pula terserak". Beliau tidak pernah mengklaim di hadapan masyarakat, bahwa yang masyarakat makan tersebut rendang babi gulai tikus, itu haram dan lain sebagainya.
Syekh Burhanuddin menyelamatkan dirinya dari makanan yang haram dengan tidak menyinggung hati orang banyak. Pada saat itu masyarakat belum paham akan hukum halal dan haramnya makanan. Kenapa beliau melarikan cerita dengan kata-kata "tanak nasi di dalam buluah"? Karena beliau menyelamatkan dirinya agar tetap terhindar dari bekas bezana atau tempat memasak masakan yang haram.
Kala itu, masyarakat belum mengetaui hukum "sama'", mensucikan bekas bezana yang dipakai untuk memasak masakan yang haram sesui syariat Islam. Itu cerita awal mula tradisi malamang yang hingga kini masih dilakukan masyarakat. Terutama pada momen bulan Maulid. Bulan peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW itu di Padang Pariaman berlaku selama tiga bulan, yang dimulai dari Rabiul Awal.
Perkembangan tardisi tentu sesuai dengan situasi dan kondisinya. Orang semakin banyak, dengan sendirinya alam terasa pula luasnya, sehingga lamang diartikan secara luas. Sehingga, kalau tak malamang akan tidak terasa bulan Maulid itu sendiri. Lamang bukan sekedar untuk orang siak yang melakukan kenduri maulid, tetapi juga disebar ke banyak tempat, dan ke seluruh sanak famili.
Bila sebuah masjid melakukan alek maulid, itu masyarakat nagari terkait juga baralek di rumahnya. Banyak membuat lamang. Apalagi kalau ipar besannya banyak, tak dielakan lagi, pasti banyak pula memasak makanan berupa lamang dan makanan lainnya.
Heri Firmasyah Tuanku Khalifah berharap, sejarah ringkas tentang malamang yang didapatkannya secara turun temurun dari khalifah sebelum dia menjadi suatu masukan bagi semua masyarakat. "Bagi para pendakwah dan ustazd, jangan mudah kita mengklaim atau menghukum sesuatu hukum, apalagi mengkafirkan, membid'ahkan, dan mensyirikan seseorang atau kelompok yang gigih menegakkan tradisinya," ulas dia.