Mohon tunggu...
Kamaruddin Azis
Kamaruddin Azis Mohon Tunggu... Konsultan - Profil

Lahir di pesisir Galesong, Kab. Takalar, Sulsel. Blogger. Menyukai perjalanan ke wilayah pesisir dan pulau-pulau. Pernah kerja di Selayar, Luwu, Aceh, Nias. Mengisi blog pribadinya http://www.denun89.wordpress.com Dapat dihubungi di email, daeng.nuntung@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Orang Bajo dan Pohon Bakau yang Tersisa di Soropia

29 Desember 2009   02:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:44 914
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_45001" align="aligncenter" width="300" caption="Foto"][/caption] Banyak orang menganggap kota Kendari atau bahkan wilayah Sulawesi Tenggara adalah kampung kedua bagi warga Sulawesi Selatan. Ini setelah membaca sejarah dan fakta betapa berpengaruhnya kaum pendatang dari Selatan di ujung kaki pulau Sulawesi ini. Selama perjalanan ke Kendari beberapa waktu lalu, saya coba membaca ulang hubungan-hubungan sosial budaya tersebut dengan mengamati geliat satu desa pesisir di bagian timur kota ibu kota provinsi Sulawesi Tenggara.

Setelah diguyur hujan semalam,  pagi itu Kendari sedang cerah. Kami menuju pesisir timur. Setelah melewati Kampung Salo dan Kessi Lampe, pandangan kami tertuju pada pohon-pohon bakau yang rindang dan padat. Pohon-pohon yang menghijau di sepanjang teluk Kendari. Pemandangan itu menjadi tak biasa karena vegetasi ini memang teramat langka dijumpai di kota lainnya. Pohon bakau terlihat tinggi dan menghijau sementara lidah air laut menjilati anak-anak bakau yang muncul dari dalam tanah.

Pemandangan yang tak lazim, begitu alami. Kesan subur dan kaya vegetasi, itu yang dirasakan namun setelah melewati beberapa kampung kami mulai ragu karena beberapa kawasan telah disulap menjadi pemukiman dan pertambakan. Salah satunya adalah desa Bajo Indah yang kami tuju. Desa itu berada dalam wilayah administrasi kecamatan Soropia, kabupaten Konawe Selatan atau sekitar 20 kilometer ke timur dari kota Kendari Sulawesi Tenggara.

Sebelum menuruni jalan kampung, dari atas bukit terlihat pemandangan yang indah. Rumah terlihat laksana timbul dari dan hanya disambungkan oleh air laut. Tiang-tiang rumah berwarna coklat kehitam-hitaman dari kayu besi khas Sulawesi mengokohkan rumah-rumah warga Bajo. Disini terdapat 120 unit rumah, rumah diatas air.

Pada saat air pasang naik, rumah-rumah tersebut tiangnya terendam air. Hanya jalan utama atau tepatnya disebut lorong dengan paving block yang memisahkan. Itupun panjangnya hanya sekitar dua ratus meter. Selebihnya adalah jembatan kayu selebar satu meter lebih yang menghubungkan satu rumah dengan rumah lainnya. Saat air laut naik, percikannya pada tiang-tiang rumah dan tepi jalan begitu terasa begitu dekat. Laksana sedang berlayar di laut tenggara.

Dari kamar kami yang sempit, hanya gerai tanpa daun pintu dan jendela saya merasakan getaran, ayunan dan percik air musim timur. Merasakan betapa hidup di pesisir begitu ritmis. Dunia yang berbeda dengan dunia asal saya, di Selatan, begitu mereka menyebutnya.

Kerang dan Karang

Di desa Bajo Indah warga merasakan dan menikmati alunan indah dari angin dan sapuan laut tenggara.  Menikmati dan mengarungi laut beserta seluruh isinya, memanfaatkan segala yang tersedia untuk tetap bertahan di dunia air, dunia nenek moyang mereka.

Setelah berkeliling dan bertegur sapa dengan warga setempat, saya alihkan pandangan pada salah satu teras belakang rumah. Disitu denyut lain nampak depan mata. Nenek Mbuti dan cucunya sedang memotong-motong ranting karang. Mereka menyebutnya, sariawan (salah satu jenis karang lunak).

Satu persatu sariawan dipotong pada ruasnya yang keras. Ditemani cucunya sore itu, sedang berada di belakang rumah panggungnya, tepatnya teras panggung belakang. Kayu-kayu besi seukuran betis anak balita menjadi lantai teras itu. Banyak yang tak dipaku hanya diikat dengan tali secukupnya.

Seperti sedang memotong-motong kacang panjang saja layaknya. Itulah aktivitas sebagian wanita Bajo yang memanfaatkan informasi dan kekayaan daerahnya. Mereka mendapat informasi bahwa sariawan ini dapat dihargai Rp. 3,000 perkilo. "ada yang bilang, potongan-potongan ini digunakan untuk membuat tasbih" Itu yang disampaikan nenek Mbuti tentang manfaat sariawan. Tidak jauh dari situ pula, beberapa anak sedang bermain didekat tumpukan karang, sepertinya sisa karang yang tidak layak jual.

Di seberang rumah Mbuti, nenek Damina sedang bersiap-siap menambatkan sampannya. Diatas sampannya terlihat tumpukan kerang. Ada japing atau semacam oyster, kerang bulu dan kerang berwarna hijau. Mbuti dan Damina, adalah dua orang sepupu dan wanita Bajo yang telah merasakan dua geliat kehidupan sejak di pulau Bokori dan setelah direlokasi pemerintah.

Tidak ada yang berubah, mereka tetap menggantungkan hidupnya pada kemurahan alam. Mereka memanfaatkan hasil laut untuk konsumsi dan juga dijual demi menghidupi keluarganya. Tidak ada yang mengganjalnya, entah itu spesies yang dilindungi undang-undang atau tidak. Mereka memanfaatkannya karena ada yang membutuhkannya, pasar!.

Tidak jauh dari kedua nenek itu,  terlihat dari jauh sampan tanpa mesin dengan layar mungil warna hitam sedang melaju kencang dari arah timur. Air terlihat berkecipak dari sisi depan sampan. Laju sekali. Air laut terlihat tenang setelah hari hujan. Yang didepan terlihat malu dan memalingkan wajahnya ketika hendak dipoto.

Saya menyaksikan dua orang diatas sampan yang sedang melaju, tanpa mesin, indah sekali. Yang satu berbaju merah dengan topi petani di kepalanya. Yang di belakang mengarahkan kemudi. Sampan itu melewati kolong jembatan sekaligus jalan lorong desa, tempat dimana beberapa wanita desa menjemur pakaian. Berhenti pada teras belakang rumah panggung, sampan diikat sandarkan pada tangga rumah.

Rupanya, seorang berbaju merah itu adalah wanita paruh baya. Dia bersama suaminya baru saja pulang dari mencari kerang di pulau Soropia dan tak lupa juga dia membawa bunga karang sariawan.  "Missa dayah"  kata wanita itu. Tidak ada ikan, katanya. Angin sedang tidak bersahabat jadi mereka hanya mencari kerang dan karang sariawan di pulau seberang seperti yang terlihat didalam sampan mereka.

Sejarah Desa

Mereka awalnya tinggal di pulau Bokori di seberang desa. Pulau tempat mereka memulai sejarah dan entitasnya sendiri, sejarah tentang siapa dan bagaimana mereka menjalani hidup. Awalnya, desa sekarang adalah lahan persinggahan warga desa Tapulaga, yang berkebun di sekitar hutan lindung Nipa Nipa. Lalu pada tahun 1980an beberapa warga pulau Bokori mulai berdiam tapi masih satu dua orang.

"Kami tambang dailu mandiru" kami tinggal dulu disitu. Kata nenek Damina dalam bahasa Bajo. Nenek ini bermata biru, dengan rambut ikal memutih, cantik dan gesit. Pasti dulunya, cantik.

Dia bercerita tentang masa-masa awal kemerdekaan, ayahnya yang Bajo, menyembunyikannya jika ada tentara Jepang dan Serdadu Belanda. Mereka kerap bersembunyi di rimbunan hutan bakau dan pohon-pohon di pesisir pulau. "Kira-kira 6 tahun, saya kala itu" Katanya. Menurut ceritanya, kawasan sekitar pulau Bokori sangat sering dilewati kapal-kapal perang dan sering terdengar raungan pesawat tempur. Kawasan ini memang menjadi strategis sebagai titik persinggahan pelayaran dari timur ke barat.

Mereka menikmati masa-masa kecil hingga tua di pulau Bokori tersebut. Lalu pada awal tahun 90an pemerintah setempat meminta mereka untuk berpindah dari pulau ini ke pesisir daratan utama Sulawesi Tenggara tepatnya di pesisir Soropia. Menurut warga, salah satu alasan mereka dipindahkan adalah susahnya memperoleh air tawar atau air bersih.

Beberapa warga awalnya menolak namun kemudian menyetujui untuk pindah setelah diberikan ganti rugi rumah sesuai dengan ukuran dan kualitas rumahnya. Tahun 1991, terdapat 91 unit rumah yang disiapkan oleh pemerintah setempat untuk warga dari Bokori. Kini terdapat 128 rumah panggung.

"Saat itu, ada yang dibayar sejuta hingga dua jutaan" kata nenek Mbuti. Banyak juga yang tanpa pikir panjang menerima tawaran pemerintah ini. Akhirnya mereka direlokasi setelah sebelumnya dibuatkan rumah panggung. Hamparan pohon pakau (mangroves) yang menjadi tempat mereka menambatkan perahu jika hendak mengambil air tawar telah dibersihkan dan menjadi areal pemukiman. Hanya beberapa pohon yang terlihat masih ada, yang lainnya, tersisa batang pohon yang telah ditebang.

Menurut kepala desa, Rustam, desa Bajo Indah merupakan desa pemekaran. Tepatnya pada tanggal 9 Juli 1999 berubah statusnya menjadi desa definitif. Terdapat 228 kepala keluarga, dengan jumlah jiwa 938.  "Sebelum tinggal disini, warga adalah pengahuni pulau Bokori sejak turun temurun" Rustam adalah anak keturunan Bugis dengan ibu suku Tolaki, salah satu suku asli di Sulawesi Tenggara. Keturunan Bajo sekitar 80 persen walaupun tidak sepenuhnya Bajo karena telah kawin mawin dengan beberapa pendatang atau suku lain.

Banyak warga Bajo mengakui bahwa mereka juga mempunyai cerita sejarah dan budaya lokal. Namun yang tahu persis asat-adat dulu sudah meninggal. Dayung-dayung, majjoge, bendera merah dan putih, bendera ula ula adalah beberapa bagian dari ritual mereka. Mereka mengakui bahwa tanah leluhurnya berasal dari salah satu wilayah di daerah Selatan. Mereka kemudian berpencar menuju wilayah tenggara dan tengah Sulawesi.

Seperti disinggung oleh nenek Mbuti,  keluarga besarnya berasal dari daerah Saenoa di Salabangka, Sulawesi Tengah yang juga sebagai tokoh utama Bajo atau Lolo Bajo. Sepupunya bersuamikan Sapiin, seorang tokoh Bajo yang menyimpan beberapa peninggalan upacara mereka namun sudah meninggal. Buku-buku sejarah orang Bajo terdapat di pulau Masigiang atau biasa disebut pula pulau Tiga.

Untuk memenuhi kebutuhan air minum, pemerintah memasang pipa yang menyuplai ketersediaan air minum dan MCK. Hanya beberapa warga yang mempunyai WC cemplung. Itupun jarang digunakan.  Kala itu tak terlihat puseksmas atau puskesmas pembantu. Tapi menurut warga, praktek dukun masih marak. Bagi yang hendak ke Puskesmas harus ke desa tetangga. Hampir sebagian besar rumah warga memang masih sangat sederhana. Tidak ada kamar mandi atau MCK khusus. Warga setempat sepertinya menggunakan cara praktis membuang hajat, misalnya ketika air pasang.

Bajo yang Heterogen

Etnis Bajo sebagai entitas sosial nampaknya kini juga tidak lagi homogen, mereka telah bercampur dengan beberapa suku di Sulawesi. Beberapa keturunannya merupakan hasil perkawinan dengan suku dari Selatan. Mereka menyebut orang Selatan seperti suku Makassar dan Bugis. Kedua suku ini merupakan dua suku yang secara turun temurun banyak bersentuhan dan menjadi bagian silsilahnya.  Seperti Aco lelaki muda yang beristri Bajo, adalah anak Sungguminasa, Gowa. Menikah dengan wanita Bajo, setelah sebelumnya pernah tinggal di Kendari bersama orang tuanya yang asal Gowa.

Selain Aco, beberapa warga lainnya adalah asal Bulukumba, Makassar (dari pulau-pulau di Makassar), Wajo dan Bone. Wanita-wanita Bajo banyak yang menikah dengan pria asal daerah diatas setelah sebagian besar dari mereka bekerja sebagai nelayan pendatang. Ada yang bekerja sebagai nelayan gae (purse seine). Setelah beberapa tahun beroperasi di perairan Kendari banyak dari mereka akhirnya melabuhkan hatinya di Bajo Indah dengan mempersunting wanita setempat.

Tidak heran jika di dekat desa Bajo terdapat dusun Lappe. Nama ini mengingatkan kita pada salah satu pelabuhan di kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Aminuddin, lelaki paruh baya yang berprofesi sebagai nelayan jaring ini misalnya.  Lelaki asal Bajoe, Bone ini, awalnya adalah nelayan yang pernah berdiam di Tiworo dan beberapa pulau di kepulauan Togean, Sulawesi Tengah. Sekarang beristrikan orang Bajo dan sampai belum pernah pulang berkunjung ke tanah asalnya. Dia menempati salah satu rumah di desa itu, setelah yang punya bercerai dan memberikan rumah kepadanya. Sang suami stress dan si istri meninggalkan kampung lalu hijrah ke pulau Bangka, Sumatera.

Bagi warga Bajo di Desa Bajo Indah, sejak mereka berdiam di daratan utama ini kontak dengan dunia luar semakin intens. Warga pendatang semakin banyak, mas mas penjual mainan, penjual bakso, penjual barang pecah belah silih berganti memasuki lorong warga.

Warga Bajo bukan lagi suku ekslusif. Warga yang berdiam pada sebanyak 128 unit rumah berada pada transisi dan perubahan, antara memanfaatkan hasil laut sebagai keterampilan turunan atau beradaptasi dengan kebutuhan pasar yang semakin kompleks. Mereka bukan lagi suku tertutup atau susah beradaptasi. Fakta bahwa mereka berinteraksi dengan siapa saja adalah gambaran bahwa dalam entitas mereka sikap terbuka pada dunia luar tetap ada.

dekatnya akses dengan kota Kendari yang semakin berkembang maju menjadi sangat terbuka untuk mereka dapat berinteraksi dengan siapa saja dan tentu saja hal-hal baru. Entah itu interaksi yang mutualistik atau merugikan, merekalah yang akan putuskan. (tulisan ini juga diposting di www.panyingkul.com).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun