Beberapa tahun terakhir, rumah sakit di Indonesia semakin gencar melakukan modernisasi. Salah satunya lewat penerapan sistem digitalisasi pendaftaran pasien. Inovasi ini hadir dalam bentuk mesin anjungan mandiri, di mana pasien bisa langsung mengisi data sendiri tanpa harus antre lama di loket administrasi.
Secara konsep, sistem ini jelas menjanjikan. Pasien tidak perlu berinteraksi panjang dengan petugas, proses pendaftaran lebih cepat, dan beban kerja administrasi bisa berkurang. Dengan begitu, tenaga kesehatan dan staf rumah sakit dapat lebih fokus pada pelayanan inti yang bersifat medis dan strategis.
Namun, kenyataan di lapangan sering kali tidak seindah teorinya. Dalam sebuah kasus, meskipun mesin pendaftaran sudah tersedia, pasien tetap dipanggil manual untuk didaftarkan oleh petugas. Akibatnya, mesin yang seharusnya membantu justru tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Pertanyaan pun muncul: apa yang sebenarnya terjadi?
Harapan Tinggi, Realitas Tak Selalu Mulus
Jika dilihat sekilas, masalah ini bukan pada teknologinya, melainkan pada pemanfaatannya. Mesin sudah ada, sistem sudah berjalan, tapi pasien tetap mengandalkan petugas. Fenomena ini sering kita jumpai ketika teknologi baru masuk ke ruang publik.
Beberapa faktor yang mungkin memengaruhi antara lain:
Pasien belum terbiasa
Tidak semua pasien paham teknologi. Terutama pasien lansia atau mereka yang tidak akrab dengan mesin digital. Alih-alih mencoba sendiri, mereka merasa lebih aman jika dilayani oleh petugas.Kebiasaan lama sulit ditinggalkan
Budaya antre di loket dan dipanggil manual sudah melekat selama puluhan tahun. Mengubah pola pikir dari "dilayani" menjadi "melayani diri sendiri" butuh waktu.Peran petugas yang masih dominan
Petugas yang masih mengutamakan cara manual tanpa mendorong pasien mencoba mesin membuat digitalisasi tidak berjalan optimal.Masalah teknis
Mesin yang error sekali saja bisa menurunkan kepercayaan pasien. Setelah itu, mereka cenderung enggan menggunakan lagi.
Peran SDM dalam Transformasi Digital