Mohon tunggu...
Dadan  Rizwan Fauzi
Dadan Rizwan Fauzi Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Pascasarjana (Megister) PKn UPI Ketua Umum Aliansi Pemberdayaan Pemuda Nusantara (ASPENTARA)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tahun Politik dan Eksistensi Mahasiswa

22 Februari 2018   11:33 Diperbarui: 22 Februari 2018   11:56 1213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun 2018 disebut sebagai Tahun Politik, pasalnya ada 171 Provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota menggelar pesta demokrasi Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (PILKADA) secara serentak.

Demam Pilkada kini telah menyebar hampir merata di berbagai kota, kabupaten ataupun provinsi yang menyelenggarakan perhelatan demokrasi di tingkatan lokal ini. Dengan irisan kepentingan menyongsong Pemilu 2019, tensi politik menjadi memanas, suhu politik mulai mendidih menyebabkan pertarungan membangun citra kian hingar-bingar seiring berbagai publisitas yang dimainkan oleh media. Partai politik, elite politik, simpatisan, dan calon kepala daerah sudah tentu berlomba mati-matian untuk meraih kemenangan dengan berbagai strategi dan manuver.

Segudang janji politik ditawarkan, halaman-halaman surat kabar, media online, pamplet, baliho dan media yang lain mulai di penuhi oleh gambar, foto dan profile para kandidat. Ada janji yang sifatnya retorik belaka dan ada pula yang utopis. Janji-janji tersebut bukannya tanpa imbalan namun dibalik itu terdapat maksud kekuasaan lewat perebutan simpati rakyat.

Dilema Praktik Politik Pragmatis

Pilkada yang notabene sebagai kontes perebutan kekuasaan memang selalu menguras emosi, tenaga, fikiran, bahkan biaya. Sehingga tak jarang banyak orang yang terjebak kedalam praktek politik yang pragmatis seperti, money politics (politik uang), mahar politik, politik balas budi bahkan kasus korupsi. Mereka sudah tidak peduli dengan akibat yang dihasilkan dari manuver yang dilakukan, karena yang terpenting adalah bagaimana cara menduduki kursi kekuasaan sehingga bisa mendapatkan keuntungan.

Kita masih ingat beberapa bulan yang lalu, La Nyala Mattalitti membongkar mahar politik yang terjadi selama ini dan sekaligus tingginya biaya politik berkompetisi dalam Pilkada. La Nyala yang merupakan kader Gerindra dan seorang pendukung Prabowo pada Pilpres 2014 menyatakan bahwa dia dimintai uang Rp 40 miliar untuk uang saksi yang harus diserahkan sebelum tanggal 20 Desember 2017. Kalau tidak bisa La Nyalla tidak akan direkomendasikan sebagai Calon Gubernur Jawa Timur.

Dengan demikian, realitas sistem demokrasi yang terjadi sekarang adalah berbiaya tinggi (high cost). Sehingga bukan rahasia lagi, seseorang ikut berkiprah dalam dunia politik dengan sistem Pemilu, Pilpres dan Pilkada harus mengeluarkan uang dari koceknya dengan jumlah angka fantastis yang tidak sembarang orang bisa menjangkaunya. Cost itu jauh melebihi modal mendirikan sebuah perusahaan bisnis berskala besar.

Selain money politic dan mahar politik, permasalahan besar bangsa kita saat ini adalah maraknya kasus korupsi. Mulai dari pemerintahan tingkat desa sampai pemerintahan tingkat kota. Baik ditataran eksekutif, legislatif maupun yudikatif banyak yang telah terjerat kasus korupsi.

Sebagaimana yang diberitakan oleh banyak media, pada tahun 2018, tindak pidana korupsi yang dilakukan kepala daerah cukup marak. Buktinya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah berhasil menciduk tiga kepala daerah dalam dua minggu terakhir lewat Operasi Tangkap Tangan (OTT). Ketiga kepala daerah tersebut adalah Nyono Suharli Wihandoko (Bupati Jombang, Jawa Timur), Marianus Sae (Bupati Ngada, NTT), dan yang terbaru adalah Imas Ayuningsih (Bupati Subang, Jawa Barat). Padahal ketiga kepala daerah tersebut merupakan salah satu calon dalam Pilkada serentak 2018.

Dengan demikian, realitas politik bangsa Indonesia saat ini masih jauh dari kata  ideal seperti yang dicita-citakan "Founding Father" sebagaimana yang tertuang  dalam Pancasila. Politik kita saat ini masih banyak mempertontonkan konflik yang mencampuradukan kepentingan politik dengan issue SARA, sehingga menimbulkan kekerasan yang menyebabkan banyak rakyat yang menjadi korban, baik secara fisik maupun jiwa. Jelas hal ini menjadi sebuah ancaman yang serius , dan harus diselesaikan secara segera.

Kaum Intlektual harus Berperan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun