Mohon tunggu...
Dadang Sunarwan
Dadang Sunarwan Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati pendidikan

Mencoba berbagi pengetahuan dan pengalaman melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menguji Pembela Rakyat

14 April 2022   12:57 Diperbarui: 14 April 2022   13:07 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Atas nama rakyat merupakan pernyataan yang selalu dilontarkan oleh mereka yang duduk di eksekutif, yudikatif dan legislatif. Sebuah komitmen yang membanggakan dalam sebatas pernyataan, namun realisasi yang ditunjukkan kadang menimbulkan keganjilan bahkan kontradiktif yang justru merugikan rakyat.

Terkesan hanya mementingkan diri sendiri atau kelompoknya saja. Sebut saja, seorang eksekutif menetapkan kebijakan demi memperlancar pembangunan meski harus menggusur pemukiman rakyat.

Seorang legislatif menetapkan peraturan perundang-undangan yang menguntungkan kelompoknya meski korbankan demokrasi yang sesungguhnya. Seperti akhir-akhir ini ramai diperbincangkan beberapa perundang-undangan yang dianggap bermasalah. Sejumlah elemen masyarakat melakukan protes terhadap hal tersebut untuk ditinjau ulang agar dapat lebih memihak kepada rakyat.

Menjadi pembela rakyat yang sejati memang tidak mudah, dengan kendala utama ada pada diri sendiri. Sebuah pertempuran dalam diri sendiri dalam memerangi ataupun mengatasi segala macam godaan dari berbagai penjuru yang begitu kuat dapat melumpuhkan idealismenya yaitu idealisme membela rakyat.

Umumnya godaan yang sangat dominan dan kadang sulit lolos dari godaan ini yaitu godaan perempuan, finansial dan kekuasaan.   Kasus demi kasus bermunculan orang yang gagal mengatasi ketiga godaan itu. Bukan hanya yang disebut pengusaha, anggota dewan, pemangku kepentingan termasuk aparat hukum pun terkena.

Merujuk pada teori psikoanalis Sigmund Freud, bahwa manusia itu memiliki tiga unsur id, ego, dan superego.  Id berhubungan dengan pengharapan/keinginan, ego berhubungan dengan kemampuan mengendalikan diri dan superego berhubungan dengan kekuatan moral.


Jika ego tidak mampu mengendalikan id maka orang itu akan menjadi agresif, pecandu kesenangan dan dapat merusak orang lain. Jika id terlampau dikendalikan oleh ego maka orang itu sulit menyesuaikan diri. Jika superego terlalu kuat maka orang itu cenderung merasa bersalah.

Begitu luhurnya pepatah Ki Sunda "Mun hirup kudu sineger tengah" dalam arti keinginan id harus ada yang dapat dikendalikan oleh ego dengan memperhatikan kekuatan moral superego. Tidak ada yang dominan dan tidak ada yang resesif, semuanya dibentuk melalui keseimbangan yang harmonis satu sama lain.

Terjawab sudah, banyak terjadinya kasus-kasus sebagaimana disebutkan terdahulu dikarenakan mereka hidup dengan konsep teuing. Jangan id teuing, jangan ego teuing dan jangan superego teuing.

Selayaknya mereka yang telah memperoleh berbagai kenikmatan kekuasaan, kenikmatan harta, dan kenikmatan finansial itu merasa cukup dengan hal itu tanpa melakukan penyimpangan yang tidak perlu karena ada kewajiban yang harus dilaksanakan yaitu membela rakyat.

Rakyat yang harus diayomi dengan adil ketika dia memiliki kekuasaan, dan rakyat yang harus dibantu secara ekonomi ketika dia berharta bukan memperkaya diri atau membangun dinasti kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun