Mohon tunggu...
Dadang Darmansyah
Dadang Darmansyah Mohon Tunggu... Lainnya - ASN di Badan Pusat Statistik

Lahir di kaki Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan, saat ini ASN di Badan Pusat Statistik Kabupaten Ciamis, penyuka olahraga dan kuliner

Selanjutnya

Tutup

Money

Merajut Asa Petani di Negeri Agraris

11 Oktober 2020   14:59 Diperbarui: 11 Oktober 2020   15:05 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belum lama  kita memperingati Hari Tani Nasional yang jatuh pada tanggal 24 September 2020. Hari Tani Nasional ditetapkan pertama kali melalui Keputusan Presiden Soekarno Nomor 163/1963. Hari Tani Nasional diperingati untuk mengenang lahirnya Undang-Undang Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Undang-undang tersebut menegaskan bahwa penguasaan dan pemanfaatan atas tanah, air dan udara harus dilakukan berdasarkan asas keadilan dan kemakmuran bagi pembangunan masyarakat yang adil dan makmur.

Hal tersebut sejalan dengan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 yang berbunyi “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.  Sepatutnya di Hari Tani ini para petanilah yang paling berbahagia. Tapi sudahkah nasib baik berpihak kepada pahlawan pangan bangsa ini?? Kita akan telaah bersama berdasarkan data statistik pertanian yang ada.

Sektor pertanian masih menjadi salah satu penopang utama perekonomian negara. Secara nasional kontribusi sektor pertanian dari sisi produksi menempati urutan ketiga setelah sektor industri dan sektor perdagangan.  Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019, terlihat bahwa sektor pertanian menyumbang 12,72 persen  dari total Produk Domestik Bruto (PDB)  yang mencapai 15.834 trilyun rupiah. Dengan data ini Indonesia dikenal dunia sebagai negara agraris yang cukup produktif. 

Namun kontribusi sektor pertanian setiap tahun semakin melambat. Pada tahun 2015 kontribusi sektor pertanian terhadap PDB masih mampu mencapai 13,49 persen. Meskipun demikian ketangguhan sektor pertanian masih terbukti mampu menyelamatkan Indonesia dari kontraksi pertumbuhan ekonomi lebih dalam. Sektor pertanian merupakan sektor yang tetap memberikan pertumbuhan positif di saat sektor lainnya terpuruk akibat pandemi global Covid-19. Semua lapangan usaha mengalami pertumbuhan negatif pada kuartal II/2020 kecuali  sektor pertanian, kehutanan dan perkebunan yang tumbuh positif dengan 0,29 persen.

Perlambatan kontribusi sektor pertanian diantaranya diakibatkan karena semakin berkurangnya rumahtangga pertanian, rendahnya nilai tukar produk pertanian serta berkurangnya lahan pertanian setiap tahunnya. Belum membaiknya mindset petani kita yang masih mengolah lahan pertanian dengan cara konvensional. Baik  dalam memilih tanaman, masa tanam, masa panen dan pasca panen. Kondisi ini berakibat kepada rendahnya produktifitas dan kualitas produk pertanian. Berkurangnya petani dan lahan pertanian kita akan menjadi ancaman ketahanan pangan kita di masa depan. Ketergantungan kita kepada impor tidak bisa terhindarkan.

Petani di Indonesia didominasi petani berusia tua. Berdasarkan data BPS dari  hasil Survey Pertanian Antar Sensus (SUTAS) tahun 2018, sebesar 28,33 persen petani Indonesia berada di kelompok usia 45-54 tahun.  Minat generasi muda kepada sektor pertanian semakin berkurang. Fakta ini akan menjadi ancaman regenerasi petani kita. Minimnya lahan pertanian yang dikuasai/petani gurem  berakibat produksi pertanian yang dihasilkan tidak mampu menjadi sumber penghasilan utama. Sangat jarang kita temui petani yang mengandalkan pertanian sebagai penghasilan tunggal rumahtangga. Mereka akan mencari sumber penghasilan tambahan di luar sektor pertanian. Ekonom senior LP3E Kadin Didik J. Rachbini pernah mengungkapkan bahwa luas lahan perkapita kita hanya 0,03 hektar/kapita. Kita bandingkan dengan beberapa negara lainnya, Vietnam 0,10 hektar/kapita, Thailand 0,52 hektar/kapita, India 0,16 hektar/kapita, Cina 0,11 hektar/kapita, dan Australia 2,63 hektar/kapita.

Petani sesungguhnya menjadi tokoh sentral dalam upaya mempertahankan lahan pangan. Sebab, petani masih memegang mayoritas kepemilikan lahan sawah. Kesejahteraan petani ditentukan oleh kepemilikan lahan pertanian yang diusahakannya. Jika petani merasa tidak akan sejahtera dengan lahan pertanian yang diusahakannya maka tidak ada alasan untuk mereka mempertahankan lahan pertaniannya. Akibatnya akan banyak lahan pertanian produktif yang beralih fungsi. Data penyusutan lahan sawah seluas 645.855 hektar terungkap dalam rapat terbatas yang dipimpin Wapres Yusuf Kalla bersama Kementerian Pertanian di tahun 2018. Dikuatkan juga oleh data  Sensus Pertanian BPS di mana sepanjang tahun 2003-2013, sebanyak 503.000 hektar sawah petani di Pulau Jawa telah beralih kepemilikan.

Di tengah keprihatinan nasib petani yang tak kunjung membaik. Sebenarnya ada juga success story petani kita. Seorang pemuda asal Cianjur bernama Sandi Octa Susila (26 tahun) adalah contoh petani hortikultura muda yang sukses. Dia bahkan dinobatkan sebagai “Duta Petani Milenial” oleh Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Pertanian (BPPSDMP) pada Kementerian Pertanian. Kesuksesannya  tidak dicapai secara instan, tetapi melalui perjuangan yang panjang. Kini, sebagai petani milenial sudah meraup omset sebesar 500-900 juta per-bulan. Saat ini Sandi bersama ratusan para petani binaan,  bekerjasama dengan perusahaan nasional dan swasta mengelola lahan pertanian seluas 200 ha.

Untuk meningkatkan minat generasi muda di bidang pertanian, pemerintah melalui Kementerian Pertanian sebenarnya memiliki komitmen  mencetak satu juta petani milenial berorientasi ekspor per-tahun dan menjadi lumbung pangan dunia di tahun 2045. Komitmen tersebut tertuang dalam Rencana Strategis Pembangunan Pangan dan Pertanian tahun 2020-2024. Hal ini akan menjadi jalan lebar masuknya kiprah generasi muda di bidang agri bisnis. Diharapkan pula upaya ini mampu mengurangi tingkat pengangguran dan kantong kemiskinan yang umumnya berada di sektor pertanian.

Kerjasama dengan pengusaha skala menengah dan besar untuk menjadi orang tua angkat bagi para petani akan meningkatkan  nilai tukar produk pertanian. Pengusaha industri makanan ringan berbahan baku produk pertanian misalnya mengambil bahan baku lokal. Harga produk pertanian semakin terangkat. Petani memiliki pasar untuk menjual produknya saat panen dengan harga yang layak. Misal komoditas singkong jika dijual dalam bentuk naturalnya mungkin hanya berkisar harga Rp. 300-400 per-kg. Tetapi dengan kualitas tertentu singkong dapat diterima industri makanan di atas Rp. 1.000,-. Bahkan melalui proses pembinaan petani dapat menjual ke perusahaan industri dalam bentuk bahan makanan setengah jadi misalnya opak atau cimpring mentah yang nilainya lebih tinggi. Hal ini akan memotivasi mereka untuk tetap bertahan berusaha di sektor pertanian.

Sistem resi gudang juga salah satu solusi meningkatkan pendapatan petani. Sistem ini merupakan upaya terobosan yang ditempuh baik oleh pemerintah maupun pelaku usaha dalam sistem tata niaga komoditi pertanian. Dilihat dari kelengkapan infrastrukur sistem dan keamanannya Sistem Resi Gudang merupakan Sistem yang paling aman dan canggih jika dibandingkan dengan beberapa sistem yang pernah ada di Indonesia. Dalam Sistem ini terdapat jaminan keamanan bagi perbankan karena semua data penatausahaan Resi Gudang terpusat  dan diawasi lembaga kompeten. Dalam perjalanannya masih terkendala dengan kurangnya pemahaman masyarakat, pelaku usaha, bahkan pihak lembaga keuangan terhadap mekanisme dan manfaat Sistem Resi Gudang ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun