Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Idulfitri Satu Dasawarsa Lalu, Saya Harus Merasakan Duka dan Suka Sekaligus

24 Mei 2020   21:11 Diperbarui: 24 Mei 2020   21:19 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Bagi saya dan suami, Idulfitri merupakan momen yang sangat spesial. Satu dasawarsa lalu, kami menikah tepat satu minggu setelah perayaan Idulfitri hari pertama. Sehingga, setiap kali Idulfitri tiba, kami selalu teringat dengan kerempongan menyiapkan segala keperluan untuk pernikahan. Apalagi saat itu, waktu untuk persiapan pernikahan lumayan singkat.

Langsung Skakmat Pertanyaan Legend "Kapan Nikah?"

Saya yang biasanya enggan bersilaturahmi dengan para tetua keluarga karena malas ditanyakan pertanyaan legend, "kapan nikah?", pada Idulfitri 1431 Hijriah justru sangat antusias. Waktu itu hampir semua keluarga saya kunjungi, baik dari pihak ibu maupun ayah saya.

Saat ada keluarga dan kerabat yang berbasa-basi dengan mengajukan pertanyaan "kapan nikah?", itu justru kesempatan untuk menyerahkan undangan. Senang banget kan, bisa menjawab secara telak pertanyaan yang terkadang hanya sekadar basa-basi untuk membuka pembicaraan itu hehehe.

Namun, untuk "kasus" saya, seluruh keluarga dan kerabat sudah tahu lebih dulu sebelum saya menyerahkan undangan. Sehingga, tidak ada basa-basi basi terkait pertanyaan "rutin tahunan" itu. Kabar terkait pernikahan menyebar lebih cepat.

Keluarga yang satu mengabari keluarga yang lain, kerabat yang satu mengabari kerabat yang lain. Terlebih kabar terkait pernikahan saya terasa spesial. Istimewa. Kabar kebahagiaan yang begitu mendadak, setelah kabar duka yang begitu mendalam.

Lebaran Terasa Tetap Semarak

Sekitar enam minggu sebelum Idulfitri 1431 Hijriah, ibu saya tutup usia. Jangan ditanya bagaimana sedihnya saya waktu itu. Dunia serasa runtuh. Apalagi saya sangat dekat dengan ibu saya. Mungkin karena saya anak semata wayang, dan perempuan.

Meski tidak sampai depresi, setiap hari saya menangis. Bukan satu-dua jam, tetapi hampir sepanjang hari. Enggan makan, enggan bersosialisasi. Berat badan saya sampai turun drastis. Dari 52 kilogram, menjadi 40 kilogram.

Kesedihan semakin terasa saat memasuki bulan Ramadan, terutama saat sahur dan berbuka puasa. Waktu itu, saya sampai pindah rumah sementara ke rumah salah satu saudara yang berbeda sekitar tiga rumah.

Melihat saya yang sedih berlarut-larut, keluarga saya dan (calon) suami menawarkan untuk menikah. Waktu itu sebenarnya statusnya masih pacar, bukan calon suami. Kami berpacaran baru satu tahun. Saat ibu saya masih hidup, sudah ada pembicaraan terkait pernikahan, tetapi belum begitu serius. Hanya sambil lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun