Apakah Islam Agama Kekerasan? Refleksi Kritis atas Stereotipe dan Fakta
Artikel ini mungkin cukup sensitif. Ia lahir dari sebuah pengalaman personal pengalaman yang memunculkan pertanyaan yang tak sederhana: Apakah benar Islam adalah agama yang keras dan penuh kekerasan?
Pertanyaan ini muncul dari pandangan yang cukup umum di masyarakat sekuler Barat, yakni bahwa umat Islam identik dengan kekerasan, intoleransi, dan sifat-sifat yang keras. Bahwa seorang Muslim, jika melakukan kekerasan, maka kekerasan itu dianggap berasal dari ajaran Islam itu sendiri.
Padahal, jika seseorang melakukan kekerasan, bisa jadi alasannya bukan karena agama, melainkan faktor-faktor lain: kemiskinan, kelaparan, pendidikan yang rendah, atau trauma sosial. Namun begitu kata “Islam” disandingkan dengan pelaku kekerasan, maka lahirlah stereotipe yang menyudutkan seluruh umat.
Sikap membela diri dengan berkata, "Itu bukan Islamnya, tapi karena faktor sosialnya," sering kali terdengar sebagai jawaban yang apologis. Karena itu, mari kita coba kaji dengan pendekatan yang lebih objektif dan berbasis data.
Seorang analis data bernama Tom Anderson pernah melakukan studi menarik menggunakan sebuah aplikasi analisis teks bernama OdinText. Ia memasukkan teks dari berbagai kitab suci Al-Qur’an, Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, dan kitab-kitab lainnya. Anderson kemudian menganalisis frekuensi kemunculan kata-kata yang berkaitan dengan kekerasan seperti “membunuh,” “menghancurkan,” “perang,” dan sejenisnya.
Hasilnya cukup mengejutkan:
- Perjanjian Lama mengandung sekitar 5,3% referensi tentang kekerasan.
- Perjanjian Baru mengandung 2,8%.