Alam semesta terbentang begitu luas, hingga tak terjangkau oleh nalar biasa. Tanpa ilmu pengetahuan, mustahil bagi kita memahami hakikat keberadaannya,apalagi menyingkap rahasia terdalam yang dikandungnya. Salah satu pertanyaan yang kerap mengusik rasa ingin tahu manusia adalah: di manakah ujung dari alam semesta ini?
Jika seandainya kita mampu menembus langit, adakah titik akhir yang menanti di kejauhan sana? Ataukah sesungguhnya alam semesta ini tak berbatas, membentang tanpa henti dalam keheningan abadi?
Dalam artikel ini, kita akan menyelami pandangan para ilmuwan mengenai struktur kosmos, menelusuri teori-teori tentang ekspansi alam semesta, dan mencoba memahami sebatas yang sanggup dijangkau akal konsep tentang "ujung" dari semesta yang tak pernah lelah meluas.
Di Manakah Ujung Alam Semesta?
Untuk menjawab pertanyaan purba tentang di manakah ujung dari alam semesta, kita terlebih dahulu harus menyelami makna terdalam dari konsep "alam semesta" itu sendiri. Sebab semesta bukan hanya hamparan ruang, tetapi juga aliran waktu yang menyatu dalam tarian agung ciptaan.
Seperti dikutip dari Big Think, alam semesta tidak berdiri dalam ruang saja, melainkan hidup dalam dimensi waktu. Ia lahir dari sebuah ledakan maha dahsyat yang dikenal sebagai Big Bang, yang diperkirakan terjadi 13,8 miliar tahun silam. Sejak saat itu, semesta tak berhenti mengembang, dan objek terjauh yang kini dapat kita amati berjarak sekitar 46,1 miliar tahun cahaya dari Bumi sebuah angka yang menggugah rasa kecil kita di hadapan kenyataan yang tak terlukiskan.
Namun sejauh apa pun penglihatan manusia menembus langit, kita tetap terkurung dalam batas indra dan alat. Teleskop-teleskop raksasa yang menatap langit hanyalah jendela kecil ke dalam gelapnya kosmos. Maka, batas alam semesta yang bisa kita bicarakan bukanlah ujung sejati, melainkan sebatas horizon pengamatan titik terakhir di mana cahaya sempat tiba kepada kita.
John Mather, seorang kosmolog peraih Hadiah Nobel dari Goddard Space Flight Center NASA, mengungkap bahwa di titik paling jauh yang dapat dilihat, terbentang sisa cahaya purba dari Big Bang, yang dikenal sebagai cosmic microwave background (CMB) radiasi gaib yang menjadi gema dari kelahiran semesta itu sendiri.
Namun apakah semesta memiliki dinding penutup? Sebagian besar ilmuwan bersepakat bahwa alam semesta ini berbentuk bola, namun bukan bola yang sederhana. Ia adalah ruang lengkung, yang bila dijelajahi cukup lama, seperti bumi, akan membawa kita kembali ke titik awal. Inilah gagasan yang pernah disebut Einstein sebagai "alam semesta yang terbatas namun tak berbatas" sebuah paradoks indah yang mencerminkan kemisteriusan penciptaannya.
Sejak tahun 1980-an, para ilmuwan mempelajari CMB dan mendapati bahwa kelengkungan alam semesta begitu luas hingga nyaris tak terdeteksi. Seperti bumi yang tampak datar bagi mata telanjang, padahal ia bulat, demikian pula semesta terlihat datar, namun menggulung dalam skala kosmis yang tak terbayangkan.