Mohon tunggu...
Andi Kurniawan
Andi Kurniawan Mohon Tunggu... Pejalan sunyi -

penjelajah hari, penjelajah hati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Apa Beda Menari Semalaman dan Dugem? Menggugat Budaya Adiluhung Kita

1 April 2015   15:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:41 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Budaya oleh banyak kalangan dikenal berasal dari kata budi dan daya yang berarti hasil olah pikir dan rasa manusia yang tersusun dari proses belajar. Dengan demikian, budaya seharusnya mencerminkan ketinggian budi manusia yang menurut Freud memiliki moral (super ego), bukan hanya ego yang hanya membaca realitas dan id yang cenderung membawa nafsu hewaniah semata. Meskipun demikian, para ahli ternyata masih bersilang pendapat mengenai definisi budaya, bahkan hingga terdapat kesimpulan bahwa tidak ada definisi yang pasti mengenai budaya. Namun berhubung ini hanya tulisan populer dan saya menuliskannya sebagai awam, baiklah kita sepakati definisi yang tertulis pada bagian awal tulisan ini.

Selama ini kita selalu mengasosiasikan budaya adiluhung sebagai budaya dari masa lalu yang perlu dilestarikan. Maka tersebutlah banyak jenis budaya tersebut, seperti tari-tarian, tembang, tulisan, maupun bangunan. Kita seolah telah bersepakat mengenai asosiasi ini dan jarang mempertanyakannya. Padahal banyak hal yang sebetulnya dapat digugat dari kesepakatan umum tersebut. Kita akan coba menguraikannya satu persatu.

1. Tarian

Dalam salah satu tarian tradisional dikenal misalnya cara berpakaian para penari wanitanya yang bercelana pendek ketat, ditambah dengan kacamata hitam. Terus terang, saya tidak dapat memahami bagaimana cara berpakaian semacam ini dinilai sebagai budaya adiluhung. Bahkan anak-anak perempuan saya akan malu untuk bercelana pendek di tempat umum dan berkomentar panjang lebar melihat wanita berpakaian semacam itu. Belum lagi penggunaan kacamata hitam, yang tentu bukan produk tradisional di masa lalu. Bagaimana bisa tarian semacam itu dinilai sebagai warisan budaya adiluhung, bahkan dipatenkan sebagai ciri khas sebuah daerah? Lebih ironis lagi, ada sejarah masa lalu yang menyatakan bahwa tarian semacam itu merupakan salah satu cara dalam penyebaran dakwah. Benarkah demikian?

2. Pakaian

Pakaian wanita Jawa jaman dulu adalah kemben, yang terbuka pada dada bagian atas, sebagaimana dahulu sering digunakan oleh mbah putri saya. Apabila dikomparasikan dengan kondisi saat ini, penggunaan kemben sudah jarang dilihat di tempat umum. Mungkin pakaian semacam itu telah bertransformasi dengan semacam tanktop yang menampilkan sisi erotisme yang serupa. Apabila kemben dinilai sebagai warisan budaya masa lalu, tentulah tanktop seharusnya juga dapat dinilai sebagai budaya serupa, benarkah begitu?

3. Pentas Nyanyian dan Sandiwara

Di perdesaan di berbagai pelosok dapat ditemui pentas-pentas nyanyian yang dilakukan pada saat ada acara penting, misalnya kelahiran maupun pernikahan. Banyak nama yang dikenal untuk pentas semacam itu, misalnya Lengger, Ronggeng dan sebagainya. Tentu masing-masing memiliki cerita latar belakang tersendiri. Pentas-pentas tersebut seringkali dilakukan semalam suntuk, dengan berbagai sisi erotisme yang menyertai, seperti memberi tip dengan memasukkan pada bagian tubuh tertentu, bahkan hingga cerita-cerita bahwa si penari maupun penyanyi dapat di'bawa' setelah pentas. Mencermati cerita tersebut, lalu apa perbedaannya dengan pentas dangdut atau dugem yang juga marak saat ini?

4. Tulisan

Dalam tulisan-tulisan lama dikenal adanya karya-karya yang erotis, yang tak kalah dengan tulisan cabul jaman kini. Orang mungkin mengenal tulisan semacam Gatholoco dan Darmogandul yang dinilai hanya mengumbar masalah seks namun dibungkus dengan ideologi mistik ketuhanan. Tentu fenomena semacam ini cukup menggegerkan apabila dikeluarkan pada jaman sekarang, karena sekaligus menyentuh dua masalah sensitif bagi banyak orang, yaitu keagamaan dan pornografi. Dapat dipertanyakan bagaimana tulisan semacam itu dahulu dapat beredar, apakah ini salah satu cara pendidikan seks yang bahkan sekarangpun orang masih begitu gamang untuk menyampaikan?

Tentu saja, di luar segala kontroversi tersebut, banyak budaya masa lalu yang memang begitu adiluhung dan harus diapresisasi tinggi, misalnya dalam hasil bangunan dan ornamen-ornamen yang begitu indah yang hingga kini masih dapat kita nikmati di berbagai candi dan rumah tradisional. Namun demikian, memperhatikan aspek negatif yang ada, dapat dikritisi apakah memang budaya merupakan segala sesuatu yang berasal dari masa lalu sehingga kita harus menerima apa adanya tanpa boleh untuk menggugat. Saya jadi ingat ungkapan Pidi Baiq, seorang penulis dan pemusik dari Bandung yang nyeleneh itu, yang kurang lebih menyatakan bahwa 'budaya yang sekarang kita agung-agungkan, jangan-jangan dahulu hanya hasil keisengan belaka'. Alangkah naif kalau kemudian kita menganggap seolah warisan masa lalu itu sesuatu yang pasti harus diterima apa adanya tanpa boleh mempertanyakan. Menurut saya, justru proses mempertanyakan dan menggugat merupakan salah satu sebab yang menjadikan budaya terus tumbuh dan berkembang di masa mendatang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun