Mohon tunggu...
Kosasih Ali Abu Bakar
Kosasih Ali Abu Bakar Mohon Tunggu... Dosen - Analis Kebijakan Ahli Madya, Pusat Penguatan Karakter

Baca, Tulis, Travelling, Nongkrong, Thinking

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Melawan Terorisme dengan Mencintai Keragaman

28 Agustus 2022   14:10 Diperbarui: 28 Agustus 2022   19:11 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Merujuk kepada judul di atas, tentunya banyak yang bertanya-tanya, apa keterhubungan antara terorisme dengan keragaman atau kebinekaan. Sehingga kebinekaan bisa mengentaskan terorisme. Kata terorisme dalam bahasa Indonesia berasal dari kata teror, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti usaha untuk menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan tertentu. Sedangkan arti kata kebinekaan adalah keberagaman. Bila melihat dari arti kata, terlihat satu dengan lainnya agak jauh keterhubungannya.

Terorisme atau ekstremisme sesungguhnya tidak bisa diidentikkan dengan agama atau golongan tertentu saja. Bentuk-bentuk kejahatan ini sudah terjadi sejak dahulu kala, hal yang perlu digarisbawahi adalah kegiatan terror bisa dilakukan oleh seseorang maupun golongan tertentu. Dalam sebuah tulisan di tirto.id dikatakan sejak tanggal 12 September 2001 - 31 Desember 2016, di Amerika Serikat telah terjadi terror yang menyebabkan 85 kematian, 73% ekstremisme sayap kanan/supremasi kulit putih dan 27% ekstremisme Islam. Kasus terorisme di Indonesia merujuk kepada Global Terrorisme Index telah mengalami penurunan, khususnya terkait dengan ekstremisme Islam, lebih besar pada ekstremisme Organisasi Papua Merdeka (GTI 2022, hal 18). Indonesia sendiri, kasus terorisme terakhir terjadi pada bulan Maret tahun 2021, peristiwa bom bunuh diri di Geraja Katedral Makassar yang melukai 20 orang.

Namun, hal yang menjadi perhatian adalah ketika dikatakan jika ekstremisme itu merupakan bahaya laten, khususnya yang berasal dari ideologi. Bangsa ini telah berulang kali menjadi korban terorisme dari bahaya laten ideologi, tidak hanya ekstremisime Islam atau agama, akan tetapi juga komunisme, serta separatisme. Sebagai contoh, pelaku bom bunuh diri di Makassar dikatakan sebagai orang yang santun dan sulit dipercayai akan melakukan hal tersebut. Selain itu, perlu dipahami jika ideologi tersebut berada dalam pikiran seseorang, sehingga sesungguhnya tidak seorang pun yang tahu bagaimana pemikiran itu terinternalisasi. Terlebih lagi saat ini pemikiran-pemikiran seperti itu bisa ditemukan pada media sosial.

Dampak dari terorisme dan ekstremisme itu luas dan massif, walaupun dilakukan hanya oleh sebagian kecil orang. Hal ini disebabkan ketika seseorang itu berhasil dalam terror yang dilakukan maka keberhasilannya membawa sebuah kelompok atau ideologi. Terlebih lagi bila kelompok atau ideologi yang dibawa itu seiring dengan sebuah populasi yang besar. Sebagai contoh, ekstremisme Islam kadang kalau dikaitkan dengan agama Islam. Ekstremisme kulit putih dikaitkan dengan agama Kristen atau rasisme. Teror yang dilakukan juga biasanya menyasar kepada tempat-tempat strategis atau tokoh-tokoh yang terkenal. Karena tujuan terror itu adalah untuk menakuti sebanyak mungkin orang sekaligus menunjukkan eksistensi diri sebuah kelompok atau individu.

Bila dilihat dari isu permasalahan terjadinya terorisme yang berpotensi menghancurkan infrastruktur, strukutur, dan super struktur tersebut adalah tercipta dari sebuah eksklusivisme buta. Ketika sebuah kelompok tidak mau lagi berbaur dengan kelompok lainnya serta beranggapan jika kelompok selainnya adalah hina atau najis. Ketika kelompok eksklusivisme itu membesar dan mempunyai kekuatan, maka kelompok ini bisa melakukan kegiatan-kegiatan terror atas nama ideologi atau keyakinan mereka. Hal ini semakin dipermudah karena isi pemikiran mereka sudah terkotak dalam sebuah ideologi tanpa bisa mendapatkan perbandingan dari ideologi lain, karena kehidupan yang semakin eksklusif.

Bila dianalisis lagi akar permasalahan terjadinya eksklusivisme buta tersebut, semuanya bermuara kepada dua hal, yaitu taklid buta dan tidak menghargai keragaman. Taklid buta ini menjadikan manusia seperti kerbau yang dicocok hidungnya, manusia yang tidak mau menggunakan akalnya untuk melakukan pemikiran kritis dari informasi yang diterima. Kecenderungannya adalah menggunakan akal pikirannya atas informasi yang didapat dari golongan atau kelompoknya dengan menggunakan kaca mata kuda. Selain itu, kesulitan untuk hidup dalam keberagaman menjadikan mereka seperti katak dalam tempurung. Mereka kurang mendapatkan informasi dan interaksi dengan kelompok-kelompok yang berbeda, sehingga dunia mereka menjadi begitu sempit.

Kedua akar permasalahan tersebut menjadikan mereka yang eksklusif tersebut seperti robot hidup. Mereka akan mudah diarahkan kemanapun penguasa mereka, bahkan sekalipun ketika mereka harus mengorbankan diri mereka demi ajaran ideologi mereka. Walau itu harus menghilangkan nyawa-nyawa orang yang tidak berdosa.

Solusi dari ekslusivitas ini sebenarnya ada pada berpikir kritis dan memperkenalkan kebinekaan atau keberagaman. Berpikir kritis untuk bisa mengeluarkan orang yang terkena eksklusivitas itu dari taklid buta. Sedangkan memperkenalkan konsep keberagaman sebagai upaya untuk mengeluarkan mereka dari tempurung, menambah wawasan mereka akan keberagaman yang ada di dunia ini.

Sebenarnya terdapat dalam kitab suci yang menjelaskan bahwa manusia diciptakan menjadi seorang laki-laki, seorang perempuan, berbangsa-barbangsa, dan bersuku-suku untuk saling mengenal. Bahasa agama ini sudah dengan eksplisit memberikan gambaran bahwa keberagaman itu adalah sebuah sunnatullah atau fakta yang berasal dari kehendak Tuhan.

Berdasarkan uraian di atas, rasanya sudah cukup jelas bagaimana terorisme dan ekstremisme tersebut bisa dientaskan atau diminimalisir melalui nilai-nilai keberagamaan untuk saling mengenal yang akan melahirkan pemikiran yang kritis.

Kemudian, hal yang sering kemudian ditanyakan adalah sejauh mana keragaman yang bisa ditoleransi oleh kita semua. Karena pada kenyataannya keberagaman itu bisa jadi di luar batasan-batasan yang dipahami manusia. Tuhan dalam ayat sucinya dengan jelas membatasi keberagaman tersebut, manusia diciptakan menjadi laki-laki dan perempuan. Ini adalah batasan yang jelas, sehingga sesungguhnya tidak ada keberagaman dalam bentuk transgender, dst. Kemudian ada kata saling mengenal, artinya ketika saling mengenal membutuhkan toleransi dan saling menghormati dari segala perbedaan yang ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun