Mohon tunggu...
David Suhendrik
David Suhendrik Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Manusia biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Orang Tua Saya Tidak Mampu, Masihkah Harus Kuliah?

18 Januari 2010   18:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:23 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Orang tua saya tidak mampu, untuk hidup sehari-hari saja masih suka kurang, lulus SMA saja sudah beruntung, apakah saya harus bekerja dengan ijazah abu-abu putih ini? Saya ingin sekali kuliah, tapi bagaimana lagi keluarga saya tidak mampu :(.

Seringkali saya mendengar kambing hitam seperti itu, sering kali saya melihat anak berseragam abu-abu putih itu turun kejalan menenteng gitar kecruk (gitar kecil, -Red). Terkadang saya berpikir apakah mereka juga mempunyai mimpi seperti saya? Apakah mereka juga sedang merencanakan sesuatu seperti saya? Dari kecil saya memang tumbuh dikeluarga sederhana disebuah desa terpencil dengan kultur yang cukup terbelakang. Para pemuda tidak ada yang mencapai pendidikan tinggi, kalaupun ke Jakarta hanya menjadi kuli bangunan atau pekerja kasar lainnya.

Tumbuh dilingkungan seperti itu membuat saya sulit berkembang, pengaruh itu datang dari orang-orang dekat maupun teman sejawat yang tidak mempunyai impian yang cukup tinggi, rata-rata mereka semua ingin menjadi petani atau dengan alasan lain enggan meninggalkan kampungnya. Untungnya ada satu inspirasi yang membuat saya mempunyai minat terhadap suatu bidang. Elektronika, itulah salah satu pekerjaan yang saya inginkan ketika masih duduk dibangku SD, tak jarang saya merusak radio SW MW milik alm. Kakek dan berakhir dimarahi, kemudian radio diservis kemudian saya rusak lagi :D. Masalahnya sederhana, saya hanya ingin tahu bagaimana barang yang ditancap-tancap dan kawat yang dililit-lilitkan seperti itu bisa menghasilkan bunyi. Rasa ingin tahu yang cukup tinggi membuat saya mencoba memutar kumparan, IF, melepas Condensator, Elco, dan lain-lain sehingga yang ada hanya noise, dan saya pikir itu bagus :D

Dari hal-hal yang menyenangkan seperti itu akhirnya muncullah keinginan yang cukup kuat untuk menekuni elektronika atau sekedar ingin menjadi teknisi bongkar pasang TV, Radio, Tape, VCD dan lain-lain. Keinginan ini kian lama kian menguat dan alhasil saya mengikuti program ekstrakurikuler di SMP, sayapun cukup berprestasi di eskul tersebut. Di SMP saya sudah mempunyai tekad untuk kuliah, dan demi kuliah saya ingin masuk ke SMK Negeri favorit di kota yang letaknya sekitar 46 Km.

Lulus SMP saya berhasil diterima di SMK tersebut dengan jurusan Elektronika Komunikasi, yup sesuai dengan yang saya harapkan :D. Tekad untuk kuliah semakin kuat, bahkan saya sudah berjanji bahwa apapun yang terjadi saya harus kuliah. Kampus idaman saya waktu itu adalah PENS-ITS, saya ingin sekali masuk ke PTN tersebut. Saya tidak peduli jika saya dilahirkan untuk hidup dikeluarga sesederhana ini, saya harus tetap kuliah, saya punya mimpi (mimpi kuliah :D). Semangat dan niat untuk kuliah seakan tak pernah padam, meski untuk sekolah di SMK pun saya harus menjadi kenek bus AKDP setiap pagi berangkat ke sekolah dan ketika pulang sekolah agar mendapat gratisan :D, rutinitas ini saya lakukan semenjak kelas 1 hingga awal kelas 3.

Tiga tahun begitu cepat bagi saya, dan harus menghadapi kepahitan meski saya lulus dengan nilai yang tidak terlalu buruk. Setelah mengetahui saya lulus dengan nilai cukup, sayapun mengutarakan keinginan untuk melanjutkan kuliah ke PENS ITS tapi sayang sekali seberapa kuatpun niat untuk kuliah tak dapat mengubah kondisi ekonomi, Cawan beras menjadi saksi kegagalan saya untuk melanjutkan kuliah, saya jatuh terpuruk, putus asa, tidak tahu lagi harus kemana, lari kemana. Saya malu terhadap diri saya sendiri karena tak mampu mewujudkan apa yang saya impikan.

Satu dua bulan dalam keterpurukan, ketika saya sudah mulai ikhlas saya segera terbangun dari mimpi-mimpi yang sepertinya tak akan pernah menjadi nyata. Tekad kuliah tidak pernah padam, untuk itulah saya memutuskan untuk bekerja, pekerjaan apapun saya lakukan yang penting halal. Selama tiga bulan bekerja dan menabung saya kembali berhitung akan kemungkinan untuk kuliah, dan lagi-lagi masih jauh dari kata mendekati, tiga bulan bekerja uang yang terkumpul hanya 500 ribu rupiah.

Saya sungguh tidak kuat menjalaninya, saya ingin seperit mereka yang bisa kuliah, setiap pagi ke kampus bukan ke sawah seperti saya. Akhirnya saya putuskan untuk ke Surabaya mengikuti training ajakan teman saya, alhasil saya bekerja di warnet sekaligus lembaga training kecil-kecilan dengan gaji 450rb/bln. Bekerja dengan jam kerja yang tidak jelas (dari pagi hingga pagi) sebagai operator warnet memang melelahkan, apalagi dengan gaji yang sangat kecil. Tapi, bagi saya itu bukan masalah utama, saya punya planning, sampai kapan saya harus bertahan dan kapan saya harus pergi.  Setelah program training selesai, saya diangkat menjadi teknisi di lembaga tersebut dan dari sini saya berpikir bahwa  saya semakin dekat dengan kampus (ke unesa tinggal lompat, ke ITS 30 menit, ke Unair 30 menit :D).

Mendekati pendaftaran mahasiswa baru, saya mulai kebingungan karena terkait dengan limit usia untuk masuk ke PTN, alhasil karena memang tidak memiliki uang saya harus kembali patah hati. Kali ini saya tidak patah arang, justru saya semakin bertekad untuk kuliah meski saya sadar entah kapan itu akan terwujud.

Ternyata tidak rugi juga saya bekerja di warnet dari pagi hingga pagi lagi, karena hampir setiap hari itu pula saya gunakan untuk belajar (networking, sistem operasi), yang akhirnya berbuah tawaran kerja ke kaltim. Tanpa pikir panjang saya putuskan utnuk ke kaltim guna mengumpulkan uang untuk biaya tahun pertama kuliah (jikalau ada kesempatan untuk kuliah). Dengan tetap berdo'a dan meminta agar diberi kesempatan utnuk kuliah, akhirnya sekitar satu tahun lalu saya mendapat tawaran kerja di Jakarta. Lagi-lagi dengan cepat saya putuskan untuk ke Jakarta agar bisa kuliah, dan syukur Alhamdulillah saat ini saya bisa menjabat sebagai mahasiswa berdikari yang mengangkat martabat keluarga.

Tanpa mengesampingkan peran Ayah dan Bunda yang selalu senantiasa berdo'a, menitikan air mata kasih sayang, sehingga anak yang tumbuh besar dari garam dan nasi "tiwul" serta ikan asin ini mampu menggapai mimpi-mimpinya. Dari panjang kali lebar histori saya diatas, saya hanya ingin berbagi bahwa tidak ada yang tidak mungkin dengan usaha dan do'a. "Nasib suatu kaum tidak akan berubah kecuali mereka berusaha". Jaman gila saat ini, mau jadi apa kalau tidak berilmu, kalau tidak bersertifikat? Dan mimpi saya selanjutnya adalah melihat anak-anak balita dikampung saya suatu saat nanti bisa menjadi sarjana-sarjana pembawa kemanjuan bagi tanah kelahirannya, suatu saat saya ingin memberikan semacam beasiswa bagi mereka yang berprestasi, Amin...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun