Mohon tunggu...
Ignasia Kijm
Ignasia Kijm Mohon Tunggu... Wiraswasta - Senang mempelajari banyak hal. Hobi membaca. Saat ini sedang mengasah kemampuan menulis dan berbisnis.

Senang mempelajari banyak hal. Hobi membaca. Saat ini sedang mengasah kemampuan menulis dan berbisnis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

FFPI 2016, Alternatif Menjadi Manusia Kembali

26 Januari 2017   17:56 Diperbarui: 26 Januari 2017   18:33 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemimpin Redaksi Kompas TV Rosianna Silalahi memberikan kata sambutan

Mereka berdiskusi dan membaca koran. Dilanjutkan pertemuan dengan empat tokoh eks-Cakrabirawa yang terlibat dalam  peristiwa ‘65. Salah satu tokoh bercerita, cucunya tidak bisa menikah dengan anggota militer karena latar belakang kakeknya. Fakta itu mendasari lahirnya film Izinkan Saya Menikahinya. Penggunaan bahasa Ngapak Banyumasan dalam film merupakan komitmen para siswa sejak awal guna mengangkat potensi lokal.

Filmmaker Terminal karya  pelajar SMK Negeri 2 Kuripan  NTB  mengangkat sudut pandang yang berbeda. Selama ini  terminal diidentikkan dengan  kejahatan. Namun ada sisi kemanusiaan seperti berbagi. Itu yang menjadi titik utama. Film Terminal yang mengambil lokasi di Terminal Mandalika mengisahkan seorang pria yang hendak bertolak ke Surabaya. Ia lupa membawa tas saat berjalan menuju bus. Pencopet segera beraksi. Akan tetapi aksinya dihadang pengamen cilik.  Film berakhir dengan tas yang dikembalikan pengamen ke si empunya.

Pemenang FFPI 2016 kategori pelajar
Pemenang FFPI 2016 kategori pelajar
Film Different karya mahasiswa Universitas Bina Nusantara dengan format animasi diproses selama enam bulan. Film Different  mengandung perumpamaan, seperti penggunaan banyak warna  dan mobil yang berlalu-lalang yang mengartikan pengkotakan status sosial di masyarakat. 

Selain itu perubahan warna pada pria saat memainkan gitar menggambarkan setiap orang  dari status sosial manapun memiliki cara yang berbeda-beda untuk berbahagia dan membahagiakan orang lain. Sementara itu mobil yang malang-melintang melambangkan penghalang itu sebenarnya dari diri sendiri, bukan dari lingkungan sekitar.

“Kehidupan tidak hanya menapak pada daratan, di laut banyak kehidupan yang di dalamnya masih bisa diungkap. Dari kisah ini akan disajikan fenomena kehidupan anak manusia yang masih sangat mengagumi kehidupan laut. Dari laut semua berawal. Kehidupan nelayan kecil di pinggiran ibukota sampai keseharian mereka mencari sebuah penghidupan. ”Prolog tersebut terdengar dari film Mereguk Asa di Teluk Jakarta karya  mahasiswa Universitas Negeri Jakarta.Film tersebut  mengangkat kehidupan para nelayan yang tinggal di perahu, dikenal dengan sebutan manusia perahu. Di dalam perahu dengan kondisi mengenaskan itu mereka melakukan berbagai aktivitas. Tak jarang masalah ekonomi,  sosial, dan keluarga mewarnai.

Para nelayan pendatang tersebut sebenarnya  ingin tinggal di rumah. Namun terhalang oleh ketiadaan KTP DKI Jakarta. Pesan yang ingin disampaikan adalah  mengkritik kepedulian sosial kita. Ternyata di sudut Jakarta yang  menawarkan pesona tersimpan  banyak masalah klasik. Jakarta tidak semewah yang kita pikirkan. Masalah tersebut ingin diperlihatkan kepada penikmat film.

“Aku adalah pengamen di jalanan, aku bernyanyi untuk mencari makan. Jangan samakan kami dengan preman. Kami bukanlah pembuat keributan.” Lagu tersebut menandai berakhirnya film I Love Me. Film karya mahasiswa Institut Kesenian Jakarta tersebut mengisahkan seorang perempuan dari kelas menengah yang hobi  mengamati media sosial, yaitu Instagram. Ia jenuh dengan foto teman-temannya yang dipenuhi hura-hura. Perempuan itu  menyusuri jalan. Ia memotret fenomena, sisi lain Jakarta yang tidak pernah atau jarang disentuh orang, diantaranya  pengamen cilik.

Film Omah karya mahasiswa Sekolah Tinggi Multimedia MMTC Yogyakarta menampilkan percakapan fiksi antara ayah dan anak laki-lakinya bernama Agus. Sang ayah membujuknya pulang menemui ibunya setelah tiga tahun berkelana.

Namun bagi Agus kehadirannya cukup diwakilkan oleh uang yang dikirimkan setiap bulan. Agus menyinggung ayahnya yang kerap meninggalkannya saat kecil karena bekerja sebagai sopir. ‘Kalau kamu sudah jadi orangtua akan merasakan sendiri repotnya mengurus keluarga’, demikian pesan sang ayah. ‘Salam untuk ibumu, gue turut berduka cita,’ ucapan itu dilayangkan teman Agus kepadanya saat ia meninggalkan warung kopi.

Bangun, menyikat gigi, bersiap-siap ke kampus. Semua aktivitas itu terus melibatkan mata dan jari yang sibuk menari di atas smartphone. Demikian penggalan hidup seorang mahasiswa yang tinggal di sebuah kost bersama teman-temannya dalam film Di Ujung Jari. Mereka gemar mengunggah  foto kemanusiaan di media sosial. Sebaliknya dalam keseharian tak peduli akan keadaan sekitar. Kebersamaan dengan teman hanya sesaat. Masing-masing sibuk dengan dunia maya. Film karya mahasiswa Universitas Bina Nusantara itu ingin memberi pesan, ‘berhenti hanya posting, mulailah bertindak’.

Menyampaikan Gagasan

Juri lainnya Ifa Isfansyah menyatakan 10 film tersebut telah lolos seleksi secara teknis dari segi orisinalitas, tema, dan durasi. Beberapa item yang digunakan untuk memudahkan proses di awal penjurian, antara lain bagaimana perspektif tema itu dilihat, bagaimana eksekusi  film itu, bagaimana menyampaikan gagasan. “Apakah unsur-unsur dalam film itu tepat dengan gagasan, bagaimana unsur-unsur itu saling mengisi,” kata Ifa, sutradara terbaik pada Festival Film Indonesia 2011.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun