Mohon tunggu...
Coach Pramudianto
Coach Pramudianto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Human Idea Practitioner

Mentransformasi cara berpikir untuk menemukan kebahagiaan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hati Siapa yang Dipulihkan?

22 November 2021   11:13 Diperbarui: 22 November 2021   16:09 1095
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Desain Canva yang dimodifikasi

HATI SIAPA YANG DIPULIHKAN?

Hari Jumat yang lalu saya bertemu dengan anak teman saya yang memiliki dua anak dan dia menceritakan: Mattew anak sulungnya yang masih di sekolah dasar harus mendapatkan perawatan intensif dari seorang psikiater karena dampak learning from home yaitu di depan laptop dari jam 07.00 sampai jam 14.00 dilanjutkan menuntaskan tugas-tugas yang lain sampai kurang lebih pukul 19.00. Dia tidak bisa mengontrol tubuhnya yang kadang bergerak sendiri, emosinya  tidak stabil, stress karena pikirannya membuat asumsi bahwa belajar seperti bermain game yang harus menang, jika dia tidak paham apa yang guru jelaskan, merasa dirinya kalah. Di sisi lain orangtuanya menyadari bahwa selama ini pendampingan terdapat anak sulungnya tidak maksimal karena kesibukan pekerjaan. Dokternya memberi saran mencari sekolah yang memberi kesempatan anak berinteraksi dengan alam, menghirup udara bebas, tersengat panasnya matahari.

Sedangkan dua minggu yang lalu saya bercakap-cakap dengan beberapa guru dan kepala sekolah, mereka mengeluh dan agak kesal, bahwa peran guru saat ini berubah menjadi pembuat video dan editing  videonya sendiri. 

Pertemuan saya dengan pejabat pendidikan di sebuah propinsi beberapa bulan yang lalu, saya mengusulkan beberapa program untuk guru dalam rangka memberikan support dalam merdeka belajar, tak terduga jawabannya "tidak ada anggaran dan ngapain repot-repot saya tidak tahu apa tahun depan masih menjadi pimpinan di sini atau tidak"

Hari minggu kemarin seorang teman yang berkiprah di dunia pendidikan menghubungi saya untuk berdiskusi tentang hari Guru Nasional dengan  tema "Bergerak dengan hati, pulihkan pendidikan", maka langsung terlintas dalam pikiran saya: Siapa saja yang harus bergerak?, Hati siapa saja yang harus digerakkan?, Hati siapa saja yang dipulihkan?, Pendidikan kita sedang sakit apa sehingga harus dipulihkan?, Situasi seperti apa yang membuat pendidikan kita harus dipulihkan?, Dipulihkan seperti apa idealnya?, Bagaimana cara memulihkannya?

Ketika pikiran saya berkecamuk dengan berbagai pertanyaan tersebut, saya teringat ketika mas Nadiem berbicara di simposium internasional dan di beberapa kesempatan mengingatkan bahwa kepemimpinan sekolah harus berubah dari otoriter menjadi kepemimpinan yang melayani, pelayanan yang ditujukan pada end user (siswa), menurutnya kebanyakan pelatihan-pelatihan hanya sebagai ajang reuni. 

Menurut saya kegagalan pelatihan tenaga pendidik dan kependidikan (soft skill) dikarenakan pengembangan kepemimpinan dan rencana suksesi bersifat tidak konsisten, tidak menentu, tanpa disiplin dan keteraturan.

Di satu tempat ada disiplin tetapi substansi pelatihan tidak tepat. Orang-orang melakukan aktivitas, mengikuti prosedur yang ketat tetapi metode mengindentifikasi, mengevaluasi dan memonitor dalam proses pelatihan hanya bersifat mekanis dan birokratis. Menemukan guru-guru yang hebat tidak dapat diserahkan pada suatu peluang yang disediakan atau proses mekanis, namun untuk membangun guru menjadi seorang pemimpin yang melayani di sekolah harus menemukan kandidat sejak dini dan dilatih secara berkesinambungan.

Menurut pengalaman saya melatih (soft skill) teman-teman di dunia pendidikan, sangat tidak mudah, karena mereka terbiasa memiliki pola "menghafal" dan telah tersedia template dalam proses pembelajaran, kurangnya membaca referensi di luar bidangnya, salah satunya ketika mereka belajar "coaching"  pertanyaan-pertanyaannya dihafal dan diterapkan kepada semua klien (mengakibatkan mereka tersesat dalam pikirannya). Mas Menteri mengingatkan lagi dalam forum lain bahwa "mengajar orang terpelajar itu lebih berat. 

Dan yang paling sulit berubah adalah orang menjadi bagian institusi pendidikan". Seorang pejabat di lingkungan Kemendikbudristek yang mendampingi pelatihan coaching dan mengawal progres peserta mengatakan "Mereka kaget dengan didaktik metodik pelatihan coaching yang pak pram ajarkan, karena selama ini mereka menghafal, tidak diberikan kebebasan berpikir". Coaching bukanlah problem solving, tetapi paradigm shifting.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun