Keistimewaan profesi dokter semakin jelas terlihat pada masa pandemi Covid-19. Di saat profesi dan pekerjaan lain terhambat karena ancaman virus korona ini, hanya dokter yang masih bisa (dan diperbolehkan) 'melanglang buana' untuk mengobati pasien yang terjangkit virus tersebut, bahkan semakin diperlukan kian hari kian bertambahnya angka kasus.Â
Di saat tempat dan usaha lain harus ditutup ataupun dibatasi demi menekan penyebaran virus, hanya rumah sakit dan klinik yang justru didesak pemerintah untuk menambah kapasitas pelayanan demi menampung pasien - terutama pasien Covid-19 - yang memerlukan perawatan.
Di ranah sosial kehidupan sehari-haripun, dokter sudah sangat sering mendapat 'stigma' berbeda dibanding profesi lain. Saya sudah sering mengamati bahwa ada kebanggaan untuk orang tua jika anaknya seorang dokter.Â
Biasanya saat ditanya oleh teman atau kerabat atau bahkan tetangga yang belum tahu anaknya bekerja sebagai apa, nada bicara orang tuanya cenderung ada nuansa bangga ketika menjawab: ooh, dia itu dokter.Â
Sama dengan yang mendengarnya; ucapan responnya juga ada nada interest: oooh dokter ya?? Hebat ya udah jadi dokter sekarang.. enak dong dokter mah ya. (Biasanya yang juga sering terjadi setelah ini: mereka mulai sesekali berkonsultasi masalah kesehatan (gratis) ke anak tersebut...)
Hal penting dan berharga bagi seorang dokter lain di luar perihal mengobati penyakit yaitu perihal menasihati. Sudah tidak asing di telinga kita mendengar ungkapan 'mencegah lebih baik daripada mengobati', yang sangat pas berkaitan dengan fungsi profesi dokter itu sendiri. Dokter sebagai orang yang dianggap paling mengerti soal kesehatan sudah seharusnya memberi nasihat medis untuk memelihara kesehatan dan mencegah munculnya penyakit akibat pola dan cara hidup tidak baik.Â
Dalam konteks ini, ibu saya pernah nyeletuk kepada saya: 'kamu tuh jadi dokter enak tau.. mulut kamu itu bakalan sering didengerin orang. Orang lain belum tentu bisa begitu; yang ada malahan seringnya nggak digubris.' Saya merasa celetuk ibu saya itu benar.Â
Apa yang saya beritahukan pada pasien-pasien saya seharusnya akan lebih diperhatikan mereka karena masalah kesehatan selalu menjadi nomor wahid, apalagi itu menyangkut langsung kehidupan mereka sendiri, bukan orang lain pun bahkan keluarganya.Â
Mereka yang sehat akal pikirannya tentu akan menyimak dan (semoga) melakukan apa yang disarankan dokter. Kekuatan advokasi inilah yang juga menjadi 'senjata' utama profesi dokter lainnya disamping kemampuannya untuk mengobati yang sudah jatuh sakit.
Tetapi sebagaimana ungkapan 'great power comes with great responsibility', profesi dokter juga dilekati sejumlah 'beban' moral dan kewajiban yang harus diingat dan dilaksanakan.Â
Semua dokter yang baru lulus dari masa pendidikannya dan akan melangsungkan kegiatan praktiknya harus melafalkan sumpah dokter. Sumpah yang sudah ribuan tahun usianya sejak zaman Hippokrates ini bukan prosesi rutin yang hanya pepesan kosong tanpa makna. Sumpah ini sebagai pengingat bagi dokter untuk selalu ingat bahwa profesi dokter identik dengan urusan nyawa manusia, hal yang menjadi esensi pokok eksistensi dan dasar segala aktivitas yang dilakukan selama masa hidupnya.Â