SUMBEROTO, MALANG -- Di Dusun Kalisangkrah RT 31, atau yang lebih dikenal dengan nama Ndarungan, terdapat sebuah tradisi yang telah lama menjadi denyut kehidupan masyarakatnya: menganyam bambu. Tradisi ini bukan sekadar keterampilan rumah tangga, melainkan telah mengakar sebagai sumber mata pencaharian utama, khususnya bagi para sesepuh desa.
Menurut Ibu Binti Khafifah, warga sekaligus pengrajin, anyaman bambu bukan sekadar aktivitas ekonomi, melainkan keahlian yang diwariskan secara alami dalam keluarga. "Menganyam sudah dilakukan sejak kami kecil, diajarkan orang tua, dan jadi keahlian penting di sini," tuturnya.Â
Mayoritas pelaku anyaman bambu di Ndarungan adalah generasi tua. Menurut Bapak Katemin, salah satu pengrajin senior, "Menganyam jadi sumber utama untuk mencukupi kebutuhan. Selain bertani tadah hujan, kami mengandalkan anyaman untuk pemasukan tambahan." Banyak warga pun terbiasa bermalam atau 'tidur di ladang' untuk menjaga hasil kerja mereka.
Bambu mudah didapat di kawasan ini sehingga masyarakat bisa memotong, membagi, dan mengolahnya sendiri. Prosesnya dimulai dengan pemotongan bambu, membaginya sesuai ukuran, lalu membelahnya tipis-tipis ('diirati'). Bagian tengkolak seringkali langsung dijual ke pasar.
Setiap ukuran memiliki nama, fungsi, dan harga yang berbeda:
- Pithi: digunakan sebagai wadah nasi (Rp10.000)
- Tenggok: umumnya dipakai membawa hasil kebun (Rp15.000)
- Rinjing: multifungsi untuk rumah tangga dan membawa hasil panen (Rp20.000)
Masing-masing hasil kerajinan ini memiliki nilai ekonomi yang mampu menunjang kebutuhan harian warga. Namun, sampai saat ini, produk anyaman bambu dari Ndarungan belum dipasarkan secara daring dan hanya dijual di lingkungan sekitar. Bahkan produk-produk tersebut belum pernah menembus pasar luar kota, kecuali pada beberapa kesempatan pameran lokal.
Sayangnya, minat dari generasi muda masih sangat minim, sehingga regenerasi pengrajin menjadi tantangan tersendiri. Selain itu, proses pemotongan bambu sering menjadi kendala teknis utama dalam produksi.