Mohon tunggu...
Cili Rama fitri
Cili Rama fitri Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa S1 Universitas Andalas

Selanjutnya

Tutup

Seni

Sholawat Dulang: Suara Dakwah Ulakan yang menyebar ke Alam Minangkabau

6 Oktober 2025   17:27 Diperbarui: 6 Oktober 2025   17:27 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://youtu.be/8xa6Bw7ujho?si=OF9xpBQ1FmUJ2m_F

Jika kita menelusuri jejak kebudayaan Islam di Minangkabau, nama Ulakan di Pariaman selalu hadir sebagai poros sejarah yang tak terelakkan. Dari sinilah, sekitar abad ke-17, lahir seorang tokoh ulama besar bernama Syekh Burhanuddin Ulakan, murid Syekh Abdurrauf as-Singkili dari Aceh, yang membawa sinar Islam ke ranah Minang. Bersama ajaran tasawuf dan tarekat Syattariyah yang beliau bawa, tumbuh pula berbagai tradisi keagamaan yang khas dan akrab dengan kehidupan masyarakat  salah satunya adalah Salawat Dulang, sebuah seni pertunjukan dakwah yang memadukan syair, irama, dan nilai spiritual.


Banyak orang mungkin hanya melihat Salawat Dulang sebagai hiburan rakyat yang mengalun di malam-malam Maulid Nabi. Namun sesungguhnya, di balik denting logam dulang yang dipukul berirama, tersimpan sejarah panjang bagaimana masyarakat Pariaman mengolah dakwah menjadi kesenian yang hidup. Tradisi ini lahir bukan dari ruang kosong, ia tumbuh dari semangat Syekh Burhanuddin yang memahami bahwa dakwah tidak hanya bisa disampaikan melalui khutbah atau kitab, tetapi juga melalui seni dan suara yang menyentuh hati rakyat.

Konon, para murid dan pengikut Syekh Burhanuddin yang tersebar di pesisir barat Sumatera mulai menggunakan dulang  wadah logam besar yang biasa dipakai untuk menyajikan makanan  sebagai alat musik sederhana. Mereka menyanyikan syair-syair salawat, doa, dan ajaran moral dalam bentuk pantun atau gurindam. Suara dulang yang bergema dari surau ke surau menjadi panggilan bagi masyarakat untuk datang, mendengarkan, dan merenungi makna kehidupan. Dari sinilah, Salawat Dulang lahir sebagai medium dakwah yang merakyat, menghubungkan langit spiritual dengan tanah budaya Minangkabau.

Sejarah juga mencatat bahwa Salawat Dulang berkembang seiring dengan penyebaran Islam ke berbagai nagari di pesisir barat. Dari Ulakan, tradisi ini menyebar ke Lubuk Alung, Batang Anai, hingga ke Pasaman. Masing-masing daerah mengembangkan gaya dan irama sendiri, namun ruhnya tetap sama: mengagungkan Nabi, mengajarkan akhlak, dan memperkuat persaudaraan. Pada masa kolonial, pertunjukan ini bahkan menjadi ruang aman bagi masyarakat untuk berbicara tentang keadilan, kesetiaan, dan keteguhan iman, meski dalam bentuk simbolik dan berirama.

Namun, seperti banyak tradisi lisan lainnya, perjalanan Salawat Dulang tidak selalu mulus. Masuknya bentuk hiburan modern dan menurunnya minat generasi muda sempat membuatnya terpinggirkan. Beberapa kelompok tua di Ulakan dan Sungai Asam masih bertahan, namun jumlahnya kian sedikit. Ironisnya, tradisi yang dulunya menjadi jantung dakwah kini sering hanya tampil sebagai pelengkap dalam festival budaya atau acara seremonial. Padahal, di balik kesederhanaannya, Salawat Dulang menyimpan nilai historis yang luar biasa saksi bagaimana Islam diterjemahkan ke dalam bahasa lokal tanpa kehilangan kesuciannya.

Bagi saya pribadi, sejarah Salawat Dulang bukan sekadar catatan masa lalu, tetapi cermin dari cara masyarakat Pariaman memeluk Islam dengan lembut, bukan memaksa, melainkan menyentuh. Tradisi ini membuktikan bahwa Islam di Minangkabau tumbuh melalui kebudayaan, bukan di atasnya. Oleh sebab itu, melestarikan Salawat Dulang berarti menjaga warisan intelektual dan spiritual yang telah membentuk wajah Pariaman selama berabad-abad.

Kini, ketika dunia semakin bising oleh hiburan instan, gema dulang dari Ulakan seolah mengingatkan kita: dakwah tak harus kaku, seni tak harus kosong, dan sejarah tak boleh diam. Di sanalah nilai sejati Salawat Dulang  seni yang lahir dari iman, hidup dari lisan, dan abadi dalam ingatan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun