Mohon tunggu...
Cika
Cika Mohon Tunggu... Tutor - ...

No me gusta estar triste . Pecinta "Tertawalah Sebelum Tertawa Itu Dilarang" #WARKOP DKI . Suka menjadi pekerja tanpa melewati titik kodrat wanita

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kalau Bukan Kita, Lalu Siapa?

5 Agustus 2018   14:57 Diperbarui: 5 Agustus 2018   15:05 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Saya bukan ahli politik, walalupun sekelabat ingin meneruskan perjalanan ayah yang sempat masuk dunia politik. Ibu bilang "janganlah, nanti ada yang lempar ayam mati ke rumahmu". Aku hanya terkekeh mendengarkan alasan polos seorang ibu.

Mengikuti politik dan pemerintahan memang sepertinya tidak bisa saya ikuti sepenuhnya, hanya ada beberapa hal yang mengena dan kuat untuk saya ingat terus saat saya merasa memiliki hak bersuara untuk ikut so menilai kepiawaian pemerintah, politikus, presiden dan lain sebagainya, padahal ilmu aja masih cetek ko ya berani beraninya menilai.

Itu duluuuuu, saat banyak demo 1998 dimana mana, saking takutnya sama banyak orang di sekeliling saya, saya iya in aja orang bilang apa. Begitu juga ketika saya sudah menjadi mahasiswi di Bandung, ko ya ada ajaaa yang cape-cape ke gedung sate bahkan ke Gedung MPR DPR RI menggunakan bis kebanggaan UNPAD alias bis kuning, mereka ga kuliah sepertinya, haha. Demo sepertinya sudah masuk SKS kala itu. 

Bertahun-tahun saya abaikan hal-hal tersebut, saya anggap saya adalah masyarakat biasa, ya ikut aja apa yang sudah ditentukan. Toh saya bisa lulus tepat waktu, masih mendapatkan pekerjaan walalupun tidak bisa jadi PNS karena tidak punya uang yang cukup, LOH???. Saya masih beruntung karena teman-teman banyak yang banting stir agar dapat berpenghasilan, kasihan lah ijazah kalau statusnya perawan terus, ga dipake-pake.

Namun pada akhirnya saya tergelitik juga untuk membuka mata. 

Sejujurnya saya lupa, berapa kali ikut PEMILU (sekarang PILKADA), berapa kali nyoblos, berapa kali pilih pemimpin.  Yang saya ingat saya memilih presiden sesuai keinginan saya cuma dua kali, saat kepemimpinan SBY (saat bersanding dengan JK) dan JOKOWI. 

Alasan saya pilih SBY kala itu cukup aneh, hanya dari kredibilitas yang diberikan versi orang lain, artinya saya ga kenal banget, tapi saat itu seakan cukup menjadi alasan melakukan pencoblosan atas nama SBY.

Lalu bagaimana dengan presiden ke-7 kita ini. Ketika saya putuskan memilih Bpk. Ir. H. Joko Widodo, saya sempat membaca rekam jejak beliau, terlebih saat bersanding dengan AHOK untuk jadi Gubernur Jakarta, setidaknya keputusan memilih adalah karena hal yang saya ketahui walaupun hanya sedikitttttttttttt . Dibandingkan dengan orang-0rang yang luar biasa di luar sana, saya kira penilaian saya untuk memilih sangatlah sederhana.

Nah, lalu hal apa yang menggelitik, ko saya berani amat nulis disini.

Sekali lagi, sangatlah sederhana. Kehadiran sosial media saat ini membuat saya kadang berpikir, apakah masyarakat Indonesia sudah sangat siap dengan kehadiran sosial media?. Apakah hanya saya disini yang menganggap bahwa hadirnya sosial media malah menurunkan tata krama? 

Apakah hanya saya yang menganggap bahwa hadirnya sosial media dan teknologinya membuat orang waras makin sedikit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun