Mohon tunggu...
Chaerul Sabara
Chaerul Sabara Mohon Tunggu... Insinyur - Pegawai Negeri Sipil

Suka nulis suka-suka____

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jenazah Dijadikan Kompos (Kok Sama dengan Tahi Ayam)

6 Januari 2023   01:23 Diperbarui: 6 Januari 2023   01:32 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. AP (via VOA Indonesia)

Salah satu problema serius dunia modern adalah semakin bertambahnya jumlah populasi manusia yang tentu saja semakin membutuhkan banyak ruang guna menunjang segala kebutuhan aktivitas dan interaksi manusia.

Konsekwensi logis yang dihadapi oleh umat manusia terhadap problema ini adalah semakin terbatasnya ketersediaan lahan, yang tentu saja pada akhirnya akan menjadikan lahan sebagai sesuatu yang memiliki 'harga mahal'.

Sejalan dengan semakin bertambahnya jumlah populasi tentu akan semakin banyak pula orang yang akan meninggal. Dalam banyak budaya dan kebiasaan orang-orang, bahwa salah satu bentuk penghargaan atas orang yang meninggal dunia adalah dengan memberikan pemakaman (dikuburkan) yang layak, baik secara seremonial sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan masing-masing, maupun tempat dan bentuk makamnya.

Persoalan yang kemudian timbul adalah ketersediaan lahan yang semakin lama tentu semakin terbatas, kini di banyak tempat (dan bisa saja akan terjadi di semua wilayah) bahwa penguburan jenazah menjadi barang mahal.

Nah, persoalan orang meninggal dunia ini sangat terkait dengan sosial, budaya, tradisi dan keyakinan dari masyarakat itu sendiri. Dalam tradisi atau keyakinan umat muslim jasad manusia yang meninggal dunia harus dihormati dengan menguburkannya secara layak dan sesuai dengan syariat yang ada.

Bagi umat lain tentu ada pula tradisi dan keyakinan masing-masing, ada yang juga dikuburkan, ada yang dikremasi, ada yang dilarungkan di sungai, ada yang diletakkan di bawah pohon atau di lubang gua/batu bahkan ada yang diawetkan. Semua prosesi ini merupakan warisan tradisi ataupun keyakinan (agama) turun temurun yang sudah baku berlaku di masyarakat, semua memiliki tatacara dan ritualnya masing-masing. Dan masing-masing pemeluk agama saling menghormati dan memahfumi tradisi dan keyakinan tersebut.

Namun, dari berbagai macam prosesi pengurusan jenazah yang kita kenal, kini ada 'inovasi' yang mohon maaf menurut saya nyeleneh yaitu metode yang disebut penguburan hijau. Metode penguburan hijau ini dipandang sebagai opsi bagi solusi atas keterbatasan lahan di perkotaan dan selain itu itu juga sebagai opsi yang ramah lingkungan.

Apa yang dimaksud dengan metode penguburan hijau ini adalah menjadikan jasad atau jenazah manusia menjadi kompos. Inovasi ini tentu saja bukan di Indonesia, inovasi ini adanya di negeri Paman Sam.

Pada tahun 2019, Washington menjadi negara bagian pertama yang mengeluarkan undang-undang yang melegalkan pengomposan jasad manusia. Tak lama kemudian metode penguburan hijau ini juga dilegalkan di Colorado dan Oregon pada tahun 2021, disusul pula oleh negara bagian Vermont dan California pada 2022, serta New York menjadi negara bagian keenam yang mensahkan undang-undang yang melegalkan reduksi organik alamiah jasad manusia atau yang dikenal sebagai proses pengomposan jasad manusia ini. (Sumber: VOA Indonesia)

Jika dicermati secara logika ini sangat inovatif, betul-betul ramah lingkungan, menghemat bahkan menihilkan lahan. Tetapi selain berbicara tentang agama atau keyakinan yang telah tertanam secara turun temurun, metode ini sepertinya tidak cocok untuk orang kebanyakan, kenapa? Yah, karena mahal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun