Mohon tunggu...
Chaerul Sabara
Chaerul Sabara Mohon Tunggu... Insinyur - Pegawai Negeri Sipil

Suka nulis suka-suka____

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kenangan Masa Kecil Menonton Barongsai "Dung Dung Ceng" Saat Imlek di Makassar

12 Februari 2021   18:00 Diperbarui: 12 Februari 2021   18:04 809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertunjukan Barongsai. Tribunnews.com

Teringat masa usia kanak-kanak di tahun 70-an, pagi-pagi benar kami dan  teman-teman  telah mandi dan memakai baju bersih. Bersiap menuju ke "China town" yang ada di kota Makassar, tepatnya berada di jalan Sulawesi.

Kami kesana demi menyaksikan pertunjukan barongsai yang merupakan atraksi tradisi menyambut imlek atau tahun baru China bagi masyarakat Tionghoa.

Kami sejak malam sebelumnya sudah janjian akan ramai-ramai pergi untuk menonton atraksi '"dung dung ceng" sebutan kami untuk barongsai. Sebutan dung dung ceng ini mungkin karena mengikuti bunyi irama pengiring tarian barongsai yang berbunyi dung dung dung dung ceng.

Menonton barongsai tentu saja sangat seru bukan saja bagi kami bocah-bocah cilik, tapi juga orang dewasa yang ramai berkumpul untuk menyaksikan atraksi barongsai yang keluar dari kelenteng Xian ma yang merupakan kelenteng terbesar yang ada di kota Makassar saat itu.  Atraksi replika naga perkasa yang sakral dan atraktif dengan gerakan-gerakan kungfu dan akrobatik yang sangat menghibur dengan segala macam iring-iringan pertunjukannya, dan kami orang Makassar mengistilahkannya "Barong dung dung Ceng".

Kemeriahan perayaan Imlek di China town Makassar saat itu bagi kami anak-anak bukan saja atraksi dung dung ceng tapi yang mengasyikkan juga, banyak "tauke", "baba", "anche", "angko" (sebutan atau panggilan kami bagi saudara-saudara kita orang Tionghoa) yang membagi-bagi angpao, mereka selain membagi angpao pada pemain barongsai, juga membagi angpao bagi para penonton apalagi pada anak-anak kecil seperti kami, saya masih ingat betapa senangnya kami menerima angpao, uang seratus rupiah bergambar Sudirman di dalam amplop merah, bukan main uang seratus rupiah saat itu mungkin setara seratus ribu rupiah saat ini.

Kami biasanya di China town atau Pecinan sampai siang menunggu hingga atraksi barongsai yang jalan berkeliling usai.

Sepulang dari menonton barongsai, keceriaan dan kemeriahan pesta Imlek belum berakhir, biasanya kami berkunjung ke rumah teman yang orang Tionghoa, saya masih ingat ada Tek ko, Boo di, Wa wa, Acheng, Sui, meski mereka sering menjadi lawan berantem saya tapi tetap saja berteman dan saling mengajak jika ada perayaan yang kami rayakan, jika lebaran mereka ikut memeriahkan bersama kami, demikian pula jika teman Nasrani natalan dan juga teman Tionghoa merayakan Imlek dan cap go meh kami-kami saling memeriahkan dalam artian saling bertoleransi. Dan ini bukan hanya antara kami anak-anak kecil tapi juga kakak-kakak dan orang-orang tua kami juga saling mengunjungi dan berbagi kebahagiaan.

Selain angpao yang paling melekat diingatan tentang Imlek di masa kecil dulu adalah kue-kue khas Imlek, ada kue keranjang yang sudah tersohor sebagai kue Imlek, tapi bagi saya yang paling saya sukai adalah kue kura-kura, kue yang bentuknya memang seperti kura-kura berwarna merah terang dan juga kadang ada yang berwarna hijau ada juga kue lapis Imlek, yah kue-kue Imlek itu biasa dibagikan oleh tetangga-tetangga kami etnis Tionghoa yang tinggal di seputaran jalan Veteran kota Makassar.

Sepanjang yang saya rasakan, dulu itu tidak ada friksi yang menyerempet Sara di kehidupan kami di Makassar, hanya memang belakangan atraksi-atraksi budaya Tionghoa seperti barongsai seperti hilang atau mungkin memang dilarang oleh rezim orde baru, entahlah.

Pembauran dan akulturasi budaya antara pribumi dan etnis Tionghoa di Makassar dan di Sulawesi Selatan sebenarnya tidak ada masalah dan berlangsung secara baik, kami hidup rukun dan harmonis.

Hanya saja entah mengapa, pada satu masa di tahun 1980, terjadi sebuah peristiwa memilukan yang mencoreng kerukunan yang sebenarnya sangat akrab antara masyarakat pribumi dan etnis Tionghoa, sebuah peristiwa yang dikenal dengan kasus Toko La, dimana peristiwa ini dipicu oleh tindakan kriminal yang dilakukan oleh oknum atau individu terhadap pekerjanya. Dan kejadian berikutnya berulang di tahun 1997 yang dikenal dengan kasus pa'baeng-baeng, yang juga merupakan kasus kriminal individu seseorang yang bernama Benny yang melakukan pembunuhan terhadap seorang bocah yang kemudian entah bagaimana bisa meletus menjadi kerusuhan bernuansa Sara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun