Mohon tunggu...
Christofer Edgar Liauwnardo
Christofer Edgar Liauwnardo Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar SMA Seminari Mertoyudan, Magelang

lahir di Tangerang, 26 Juni 2002. sedang menempuh pendidikan di Magelang, Jawa Tengah. Gemar menulis, membaca, dan kuliner.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kurikulum Integratif: dari Rigiditas Menjadi Fluiditas

26 Oktober 2020   14:36 Diperbarui: 26 Oktober 2020   14:40 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pagebluk Covid-19 mengubah setiap lini kehidupan, tidak terkecuali pendidikan formal. Digitalisasi yang terjadi secara massal dan masif menyajikan tantangan baru dalam penyiasatan pendidikan yang optimal dalam format Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Berdasarkan survei UNICEF, sepertiga anak di seluruh dunia (463 juta) mengalami kesulitan dalam PJJ.[1] Di Indonesia, menurut survei KPAI atas 9.643 responden, 67,7 % siswa setuju sekolah dibuka. Hal ini mengisyaratkan bahwa mayoritas siswa kurang terjamah lewat PJJ. Oleh sebab itu, perubahan dan keprihatinan yang demikian tidak cukup disikapi dengan berubahnya pola interaksi pembelajarannya saja, melainkan juga perubahan sistem penilaian dan kurikulum yang diterapkan. 

Melalui dokumen Konsili Vatikan II tentang pendidikan Gravissimum Educationis, Gereja menyadari bahwa pendidikan merupakan pembentukan pribadi yang utuh dan dewasa secara manusiawi dan kristiani.[2] Lembaga pendidikan Katolik sudah seharusnya bertransformasi, baik guru maupun akademianya, dalam mengusahakan pendidikan optimal demi keutuhan perkembangan siswa. Salah satu caranya yaitu penerapan kurikulum integratif yang didasari pada pedagogi transformatif dari Jack Mezirouw (1991).

Pedagogi Transformatif

Cara pandang dalam dunia pendidikan menuntut kesatuan (holistis). Pendekatan holistis menekankan pada pemahaman dunia sebagai suatu kesatuan yang saling berhubungan. Oleh sebab itu, apa yang dipelajari bukan sesuatu yang terisolasi dan terspesialisasi dari kehidupan siswanya.[3] Untuk mencapai holisme yang dimaksud, Mezirouw memperkenalkan pedagogi transformatif.

Pedagogi transformatif merupakan pembelajaran yang mengedepankan cara mengubah kerangka acuan melalui refleksi kritis terhadap kebiasaan pikiran (habit of mind) dan sudut pandang (point of view).[4] Kebiasaan pikiran bertindak sebagai penyaring makna pembelajaran dan hidup. 

Kemudian, hal tersebut membawa seseorang pada cara pandang yang menjadi perasaan, sikap, dan penilaian yang mempengaruhinya dalam menginterpretasikan pembelajaran. Seseorang yang berhasil mengubah asumsi dasar yang dimiliki dan sadar atas kelemahan perspektif yang dianutnya untuk kemudian beralih pada perspektif baru adalah orang yang telah mengalami proses pembelajaran transformatif.[5] 

Kebiasaan berpikir siswa bahwa pembelajaran hanya dapat berlangsung optimal di kelas perlu ditinggalkan. Sudut pandang rigiditas pendidikan yang dipegang guru perlu dikritisi. Kedua kelemahan perspektif dari siswa dan guru tersebut perlu bertransformasi menjadi sebuah mentalitas adaptif dan kontekstual dengan masa pandemi Covid-19.

Pembelajaran kaku dan formal seperti yang sering diterapkan di pembelajaran tatap muka langsung perlu dihindari. Dengan kata lain, fluiditas pembelajaran perlu dikembangkan supaya dapat "mengalir" dan menembus batas ruang pendidikan formal belaka. Makna rigiditas perlu ditinggalkan dan mengarahkan pada fluiditas pembelajaran agar siswa semakin terjamah sekalipun lewat PJJ. Mezirouw menyatakan bahwa proses pembelajaran melampaui pendidikan bertabiat hafalan dan perolehan kecakapan akademik yang disajikan dalam nilai prestasi siswa.[6] Guru transformatif diajak untuk melampaui metode hafalan, apalagi tetap mempertahankan pola pembelajaran normal, seakan tidak terjadi sesuatu yang "membahayakan" dan "mengurangi" kualitas diri siswanya.

Kurikulum Integratif

Salah satu penerapan pedagogi transformatif yang sudah dilaksanakan di SMA Seminari Mertoyudan Magelang adalah kurikulum integratif. Kurikulum ini mencoba membaurkan kegiatan siswa dengan mata pelajaran dan penilaiannya sehingga menjadi satu kesatuan pembelajaran yang utuh. Direktur SMA Seminari Mertoyudan, Rm. J. Mario Plea Lagaor, SJ, menyebutkan bahwa kurikulum integratif ini bahkan telah dirintis sebelum era pandemi sebab tujuan utamanya yaitu mengajak siswa untuk memahami pendidikan secara holistis, tidak lepas dari hidup dan penerapan sehari-hari.

Dengan melimpahnya waktu di rumah, siswa dapat menemukan atau mendalami kegemarannya dan menemukan sumber-sumber pembelajaran lain. Namun, terkadang perubahan ini tidak terakomodasi oleh sekolah sebagai sebentuk pembelajaran dan penilaian yang patut diapresiasi. Kekosongan inilah yang menjadi target penerapan kurikulum integratif yang membuka ruang bagi siswa untuk menemukan pembelajaran kreatifnya (creative learning) masing-masing. Siswa bisa membuat lagu, menyusun resensi buku yang dibacanya, merancang poster, membuat komik, membuat kebun hidroponik, atau melakukan eksperimen sesuai materi yang sudah dan tengah dipelajari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun