By Christie Damayanti
Ketika aku sudah masuk dan berada di lingkungan masyarakat kaum disabled sejak 7,5 tahun lalu karena tubuhku lumpuh ½ sebelah kanan karena stroke berat, sebagai manusia,aku akan berkumpul dengan mereka, karena merasa senasib sepenanggungan.
Manusiawi sekali, sepertinya. Karena jika aku tetap berada di tengah2 teman yang sehat dan normal, aku akan tertinggal semakin jauh. Bukan karena mereka meninggalkan aku, tetapi memang “speed”ku sebagai manusai yang terbatas dan disabled, memang jauh tertinggal.
Bukan karena teman2ku tidak menyayangiku lagi, tetapi drmikianlah adanya. Sangat manusiawi, ketika perlahan aku akan tersingkir dalam persaingan di dunia.
Persaingan?
Ya! Dunia adalah perlombaan. Dunia adalah kompetisi. Dunia adalah persaingan. Siapa yang cepat, dia dapat. Siaa yang menang, dia menguasai. Siapa yang berhasil dia adalah yang menjadi “raja”.
Msing2 kumpulan2 manusia itu bersaing untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Masing2 kumpulan akan mempunyai “raja” dan akhirnya semua “raja” akan menguasai dunia. Dan cara mereka bersaing pun bermacam cara. Mulai yang halus sampai benar2 kasar dan culas. Dan semakin kesini, persaingan di dunia ini, semakin tidak manusiawi …..
Bagaimana dengan kumpulan2 disabled? Disabilitas netra? Disabilitas rungu? Disabilitas daksa? Atau disabilitas grahita? Adakah persaingan disana?
Seperti tulisan2ku sebelumnya, khususnya di Indonesia, kaum dan penyadang disabilitas jenis apapun, masih merupakan “obyek penderita”. Obyek belas kasihan atau obyek yang perlu disakihani. Kaum disabilitas di Indonesia, masih merupakan “warga negara kelas kesekian”, dimana akhirnya pemerintahpun masih tidak bisa berpegang pada peraturan2 kemanusiaan.
Bahkan peraturan2 yang ada pun masih hanya sebatas kata2 dan tertulis, tetapi tidak membawa dampak perubahan sama sekali, bahkan masih banyak sekali penyadang disabilitas mengalami diskriminasi yang luar biasa!
Beberapa teman dan sahabat2ku di dunia kaum disabilitas, bahkan sejak kecil tidakbisa bersekolah karena keterbatasannya, dengan berbagai macam alasan. Mereka benar2 harus belajar sendiri, dan hanya diajarkan oleh keluarganya. Padahal, banyak dari mereka mampu untuk belajar, tepi fisik mereka memang terbatas.