Ada Bersama Sebagai Eksistensial
Manusia tidak dapat disebut atau dikatakan sebagai manusia selain berkat dari kehidupannya bersama yang lain. Kondisi ini merupakan syarat mutlak bagi eksistensi manusia, Hal yang sama juga dikemukan Driyarkara, bahwa sifat manusia sebagai homo homini scius (manusia adalah teman bagi sesamanya).Â
Adanya manusia bertolak dari keberadaanya bersama manusia itu sendiri. Ada bersama (sosialitas) merupakan ciri hakiki yang tak teringkari dan bukanlah ciri yang ditambahkan atau ditentukan dari luar, melainkan sesuatu yang melekat pada dirinya sejak lahir.
Manusia sebagai makhluk sosial memungkinkan dia menegaskan kembali eksistensinya. Kesadaranku tentang diriku sebagai substansi dan subjek terntentu juga menuntut sebagai syarat mutlak (untuk kesadaran itu) adanya yang-lain yang tertentu pula.Â
Kesadaran akan eksistensi individual merupakan tahapan awal bagi pengenalan akan kehadiran substansi-substansi lainnya, selain subjek yang berpikir. Dengan demikian tidak ada substansi/aku yang murni.
Secara fenomenoligis, eksistensi manusia sebagai makhluk sosial ditunjukan lewat pengalaman sehari-hari. Subjek yang memahami dirinya sebagai mahasiswa, dosen, perawat dan dokter. Semua aspek tersbut menghubungkan subjek pada lingkungan yang lebih luas. Bahkan kegiatan yang dilaksanakan oleh indera manusia, seperti melihat, mendengar, dan merasa: semuanya mengarahkan subjek pada keberadaan yang lain.
Selain itu, pengalaman manusia yang paling dalam pun telah meliputi pengalaman akan orang lain yang mengajak untuk berkomunikasi. Dengan demikian, tidak ada subjek yang murni. Kesadaran subjek adalah kesadaran akan yang lain.Â
Individu Otonom dalam Relasi
Individu yang otonom merujuk pada pemikiran Descartes tentang kemampuan akal budi yang mengaktualkan eksistensi manusia. Cogito Ergo Sum (saya berpikir maka saya ada): kesadaran subjek yang berpikir memperjelas dan mempertegas eksistensi subjek.
Dalam kerangka berpikir sosialitas manusia, individu-individu otonom membentuk pola relasi yang memperjelas eksistensinya. Secara eksistensial, pola relasi ini bertolak dari kesadaran induvidul dalam paradigma sosialitas/ada bersama.
Subjek yang berpikir melihat dirinya sebagai "pengada" bagi yang lain dan "diadakan" yang lain. Subjek yang diadakan oleh yang lain bertolak dari pengangukan yang lain. Aku menurut adanya pula tergantung dari yang lain. Dengan demikian hanya sejauh subjek memahami dan mengakui yang lain, begitu pula sebaliknya keberadaan saya diperjelas.