Pada suatu siang di ruang guru, seorang teman guru mengeluh, "Anak-anak sekarang tuh nggak mempan lagi dikasih hukuman. Dikasih tugas tambahan malah senang, disuruh berdiri malah jadi ajang pamer." Semua tertawa, tapi ada sesuatu yang menggantung di udara: apakah sistem reward dan punishment (ganjaran dan hukuman) yang kita terapkan selama ini masih relevan?
Mari kita ajak pikiran kita jalan-jalan sejenak ke era B.F. Skinner, seorang tokoh besar dalam dunia psikologi perilaku. Skinner memperkenalkan konsep operant conditioning---cara belajar melalui konsekuensi, yakni reward (penguatan) dan punishment (hukuman). Menurut Skinner, jika suatu perilaku diberi reinforcement (penguatan positif seperti pujian, hadiah), maka kemungkinan besar perilaku itu akan terulang. Sebaliknya, jika diberi punishment, maka perilaku tersebut akan berkurang atau bahkan hilang.
Konsep ini dahulu sangat populer di ruang-ruang kelas. Anak yang rajin diberi bintang emas, anak yang ribut diminta berdiri di luar kelas. Sederhana. Tapi apakah sesederhana itu dalam praktik hari ini?
Dari Hadiah ke Ketergantungan
Kritik terhadap sistem reward sudah cukup lama bergema. Alfie Kohn, seorang pakar pendidikan progresif, menulis dalam bukunya Punished by Rewards (1993) bahwa memberi hadiah secara terus-menerus bisa membuat anak-anak tidak belajar karena nilai dari sebuah tindakan, tapi karena mengincar hadiahnya. Ini seperti murid yang hanya mau belajar kalau dijanjikan es krim.
Masalahnya, anak bisa kehilangan motivasi intrinsik---semangat dari dalam diri untuk belajar dan berkembang. Akhirnya, ketika reward berhenti, semangat itu ikut lenyap. Mirip seperti tanaman yang tumbuh bukan karena akar yang kuat, tapi karena pupuk kimia. Cepat besar, tapi rapuh.
Lalu bagaimana dengan punishment?
Hukuman yang Bikin Makin Bandel
Skinner sendiri sebenarnya tidak terlalu menganjurkan hukuman sebagai cara utama mengubah perilaku. Ia menekankan bahwa penguatan positif lebih efektif dan lebih tahan lama. Hukuman, kata Skinner, hanya membuat perilaku hilang sementara, tapi tidak membentuk perilaku baru yang diinginkan.
Bayangkan seorang guru yang marah karena murid menyontek. Ia menghukum si murid dengan berdiri di depan kelas. Apakah si murid akan belajar jujur? Bisa jadi tidak. Bisa jadi ia malah belajar menyembunyikan contekan lebih pintar lain kali. Hukuman tidak membentuk nilai, hanya menimbulkan rasa takut atau malu.