Mohon tunggu...
Chintya Gayatri
Chintya Gayatri Mohon Tunggu... Auditor - Gemar menulis, berdiskusi, dan sedikit keras kepala.

Cinta mati film aksi, makanan pedas, dan keju.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Manusia adalah Ruang Lelucon

22 September 2020   21:35 Diperbarui: 22 September 2020   21:37 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Aku pernah disembelih oleh harap yang menjulang tinggi di kepalaku.

Tunggu, atau mungkin, menguasai emosi bukanlah keahlianku? Sehingga, saluran berpikir yang seharusnya dipilah untuk menalar risiko terbungkam oleh ambisi yang salah kaprah. 

Setiap hari ikhtiarku ditemani temperatur optimisme tanpa bersiap gagal, depresi, serta ekspektasi-ekspektasi yang bisa saja menjadi kontradiksi dengan yang sebenarnya digariskan untukku. 

Alih-alih berhati-hati dalam melangkah, yang terjadi ialah berusaha keras merangkap pekerjaan sebagai Tuhan si Maha Tahu Semua. Dugaan yang mondar-mandir dalam otak telah banyak melakukan tindak kanibalisme terhadap diriku sendiri, membelah diri menjadi kebodohan, dan menggerogoti akal sehat.

Belum puas menerka masa yang akan datang, seringkali aku bertanya dan mencari jawaban di benakku sendiri, seolah aku mengerti seluruh poros kehidupan,

"Apa semua umat bernama manusia memang seperti itu? Kelabu, abu-abu, dan semu. Cepat berubah, terlalu percaya diri pada rencana yang mereka tetapkan sendiri sampai terkadang lupa bahwasanya masih ada Dzat Paling Esa yang mengatur segala?"

Ah, ku rasa tidak. Pasti tercipta manusia-manusia unik yang diberkati kecerdikan menentukan revolusi hidup mereka, seperti pengalaman dalam memahami kehancuran sehingga memaksa mereka untuk terus berjalan meskipun barangkali satu kaki sudah tak dapat berpijak.

Aku sama sekali tidak menuntut diriku atau kalian untuk berani menghadapi kecewa atas rencana-rencana yang kita buat. Namun, adakalanya, menjadi manusia harus memiliki karakter universal. Tersurat dalam ilmu dunia manapun bahwa sejatinya kegagalan adalah "hak" semua makhluk bumi. 

Tuhan telah mengemas kapasitas gagal sesuai dengan porsi kekuatan kita, tentu berbeda-beda. Maka, sudah sepatutnya kita cukupkan amunisi kerendahan hati untuk mengetahui sejauh mana lingkup manusia dalam menanam asa.

Tak payah terhenti, yang kita sebut gagal belum tentu sepenuhnya buruk. Kita hanya perlu berada dalam sebagian besar optimalisasi perjuangan atas rencana-rencana baik, dan mempersiapkan sekotak kosong bagi duka saat hal-hal yang telah kita semogakan tak berujung realita.

Atmosfer yang menginjak kepala kita setiap waktu seakan merekam janji Sang Maha Kekal, entah apa yang Dia berikan sekalipun tidak kita cintai, itu tetap sesuatu paling mulia dan memang yang kita butuhkan. Tidak lupa, kan? Tuhan memberi yang sebenar-benarnya kita butuh, bukan sekadar hal yang terjerat birahi bernama keinginan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun