Mohon tunggu...
Chilmi Muhammad Alawi
Chilmi Muhammad Alawi Mohon Tunggu... -

I am an amateur writer but i have a dream to be professional writer\r\n\r\ndon't forget to follow my twitter @chilmi_muhammad

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Allah Itu Maha Baik

2 Juli 2012   02:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:21 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

“Bagaimana aku tidak melihat padahal aku bermisbah kepadaMu, dan bagaimana aku tidak miskin sedangkan engkau yang menetapkan kemiskinan, bagaimana aku tidak miskin sedangkan engkau yang telah menetapkan semua kebutuhanku dengan kemurahanmu”

Menyimak sepenggal do’a dari Syekh Ibn Attoillah Assekanndari yang tertuang dalam kitab Al Hikam diatas, pastilah kita sedikit berpikir lebih untuk memahami apa arti sesungguhnya dari kalimat yang secara sepintas terlihat begitu rumit dalam pengucapannya, namun apaboleh dikata begitulah lyric doa dari Ulama yang terkenal dengan ilmu tassawufnya ini. Sedikit mencoba memahami, terlihat bahwa beliu (Syeikh Ibn Attoillah Assekandari ) terlihat begitu pasrah dengan segala sesuatu yang akan terjadi di dalam kehidupannya. Seolah yakin bahwa Allah SWT akan selalu berada di sampingnya, beliau terlihat sepintas tidak begitu memperhatikan apa yang disebut dengan “Usaha”.yang menjadi pertanyaan Bolehkah tindakan seperti itu dilakukan? Bolehkah kita hanya bersandar pada “takdir”? begitulah perdebatan beberapa orang setelah mendengar dan melihat dialog ini.

Memang hakikat seseorang hidup di dunia ini dalam mencapai suatu tujuan harus melalui dua sunnatullah, yakni berusaha dan berdo’a. tanpa berusaha hanya mengandalkan do’a maka mimpi mencapai tujuan akan menjadi lukisan bak perahu di tengah samudera yang tak bertepi. Sebaliknya berusaha saja namun tanpa berdo’a ibarat kata orang memakan nasi tanpa didampingi dengan beraneka macam lauk-pauk yang mewarnai rasa di dalam mulut ini, semua terasa hambar. Namun itu semua akan terasa bertolak belakang manakala kita telah mencapai suatu kedudukan dimana ikhlas dan sabar dalam menerima sumua takdir yang diberikan dari sang Maha pengatur takdir. Maka tidak salah jika persepsi Syeikh Ibn Attoillah Assekandari dan semua ahli ilmu tassawuf seperti itu. Mereka memang tidak mengHaramkan usaha atau ikhtiar, namun mereka juga tidak melarang bergantung penuh atau tawakal kepada Allah SWT.

Berakar dari pendapat ini, banyak diantara kita salah menafsirkan maksud dan tujuan yang terpendam dalam ajaran tasawuf. Banyak yang beranggapan bahwa tidak perlu bekerja susah payah untuk mendapatkan apa yang dinamakan “Rizqi”.cukup pasrah dan menggantungkan nasib saja. Toh rizqi sudah ada yang mengatur. Menurut saya sangat bodoh orang yang mempunyai anggapan seperti itu, mereka keblinger dan salah tafsir dalam memahami ilmu Tasawuf. Karena sesungguhnya dengan ke-Maha Baikannya Allah SWT telah membagi orang di dunia ini menjadi dua bagian,yangdisesuaikan dengan kemampuan meraka masing-masing.Ada yang memang ditakdirkan oleh Allah SWT untuk menjadi seperti orang-orang khusus, yang hanya menghabiskan setiap detik waktunya untuk beribadah tanpa didasari dengan bekerja atau berusaha. Semua rizqinya telah ditetapkan dan mengalir bak air terjun di pegunungan. Mereka-mereka itu lah yang dimaksud dan di gambarkan dalam sepotong luapan do’a diatas. Mereka diberi nama sebagai “Ahli Tajrid”.

Memang sulit untuk dipahami dengan akal sehat, seseorang tanpa bekerja namun semua kebutuhannya tercukupi malah ada yang sampai berlebih. Boleh percaya atau tidak, namun mereka memang ada disekitar kita. Sebuah contoh gambaran seorang ulama di Pasuruan yang mungkin bisa membuka katub hati dan pikiran kita dalam memahami keadaan semacam itu. Beliau adalah K.H Abdul Hamid, yang begitu akrab di sapa sebagai Mbah Hamid, beliau adalah salah satu dari beberapa orang pilihan yang menyandang sebagai Ahli tajrid, semasa hidupnya beliau hanya menghabiskan waktunya berdiam diri di dalam kediaman yang indah dan asri di tengah lingkungan pondok pesantren “Salafiya” yang didirikannya. Siang dan malam beliau abdikan hidupnya untuk mengajar dengan kelembutan ilmunya pada santri-santri di pondoknya.

Namun dengan kuasa Allah SWT beliau mendapatkan rizqi yang cukup melimpah, hingga sering beliau menolak pemberian rizqi yang datangnya melalui perantara orang-orang kaya yang sengaja datang hanya untuk meminta barokah do’a. pernah suatu ketika ada salah seorang pejabat dari Malang datang kepada Mbah Hamid dengan maksud ingin menghadiai sebuah mobil mercedez, namun dengan tanpa bermaksud menyinggung beliaupun menolak pemberian itu. Shubhanallah, memang Allah begitu mengerti derajat mana yang terbaik pada hambaNya. Mari kita bayangkan, apabila kita yang berada di posisi seperti itu, pastilah tanpa berfikir panjang kita akan menerima dengan senang dan bangga hati hadiah yang mungkin belum pernah kita dapatkan dengan bekerja selama beberapa tahun. Dari sepenggal cerita singkat ini jelas memberi isyarat kepada kita semua bahwa sekali lagi Allah itu adalah sang Maha Baik, Dia memilih orang-orang yang tidak suka akan dunia sebagai ahli tajrid, dengan maksud agar kita sekalian belajar bahwa hidup di dunia ini hanya sementara, jangan hanya digunakan untuk mencari kesenangan nafsu dunia saja.

Sedangkan untuk golongan manusia yang kedua adalah ahli Asbab, golongan seperti ini pantas dan memang berlaku untuk kita sekalian, yang suka bekerja untuk mendapatkan rizqiNya. Karena golongan ini pada intinya harus berusaha terlebih dahulu baru kemudian mendapatkan hasil. Golongan asbab memang sangat bertolak belakang dengan golongan tajrid, namun pada hakekatnya kedua golongan ini sama-sama baik di mata Allah, seseorang yang terlahir untuk mengarungi dunia ini sebagai ahli tajrid, maka harus diterima takdir tersebut dan tidak boleh berlagag ingin berpindah menjadi ahli asbab. Karena kalau hal demikian dilakukan, maka orang tersebut akan tergolong sebagai orang yang kufur nikmat, nah sekarang yang menjadi sebuah pertanyan besar yang menggelayut di benak kita sekalian, bagaimana kita bisa mengetahui derajat kedudukan kita, apakah kita masuk ke dalam ahli tajrid ataukah ahli asbab??

Tentunya untuk menjawab pertanyaan yang seperti itu, yang pertama kita harus memiliki seorang guru yang memang bermaqom mursyid, (Nah istiah apalagi itu? Hehehe) sedikit mendefinisikan pengertian dari mursyid, adalah sebutan untuk seorang guru pembimbing dalam dunia thoriqoh, yang telah memperoleh izin dan ijazah dari guru mursyid diatasnya yang terus bersambung sampai kepada guru mursyid Shohibuth Thoriqoh yang musalsal dari Rasulullah SAW untuk mentalqin dzikir/ wirid thoriqoh kepada orang-orang yang datang meminta bimbingannya (murid). Dalam artian guru yang semacam ini memang sangat jarang ditemui di lingkungan kehidupan kita, maka bila cara yang pertama terlihat begitu sulit, maka kita bisa melakukan alternatif lain, yakni dengan melalui sholat istikhorroh dan berdoa kepada Allah agar kita diberi petunjuk.

Namun terlepas dari apakah kita nanti tergolong sebagai ahli tajrid ataukah sebagai ahli asbab, maka mari tancapkan keyakinan bahwa Allah adalah dzat yang maha baik, dia mengetahui mana yang terbaik bagi hambahNya. Untuk membuktikan kemahabaikkan Allah dalam konteks dua golongan ini, maka cerita ini akan sedikit menggambarkannya. Suatu ketika disuatu tempat berkumpullah dua orang dari golongan yang berbedah, ahli tajrid dan ahli asbab, kedua sosok orang ini terus berdiskusi untuk meyakinkan bahwa golongannyalah yang terbaik. Sedang asyik-asyiknya mereka berdebat, tiba-tiba mereka dikagetkan dengan bunyi suara keras dari arah halaman depan, setelah diselidiki ternyata suara tersebut berasal dari jatuhnya buah mangga dari atas pohon. Tanpa berpikir panjang sang ahli asbab terus berlari dan memungut buah mangga itu. Setelah buah berhasil digenggam di atas tangan, si ahli asbab tadi sedikit memprofokasi sang ahli tajrid yang memang pada saat itu terlihat begitu pasrah dengan peristiwa jatuhnya buah mangga tadi, sang ahli asbab tadi berbicara kalau memang ahli asbablah yang terbaik, karena seuatu itu harus diawali dengan berusaha jika ingin mendapatkan hasil, namun ucapan tersebut hanya ditanggapi dengan senyum manis dari sang ahli tajrid. Setelah beberapa menit kemudian sang ahli asbab terlihat begitu ibah kalau mangga ini di habiskan sendiri, sedangkan temannya hanya melihat. Kemudian dengan seizing Allah ahli asbab tadi membagi buah mangganya menjadi dua bagian, yang separuh untuk dirinya dan yang separuh lagi untuk sang ahli tajrid. Setelah memakan buah mangga tadi sang ahli tajrid kemudian langsung mengejek sang ahli asbab, dia berkata kalau kamu harus merusaha susah payah untuk mendapatkan sesuatu, maka saya cukup diam dan menanti takdir untuk mendapatkan apa yang kamu dapat. Dari cerita diatas dapat di tarik kesimpulan bahwa semua yang ditakdirkan oleh Allah kepada kita sekalian adalah baik dan terbaik…

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun