Mohon tunggu...
Katrin Cheng
Katrin Cheng Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Dan, Bukan Atau

28 Februari 2016   19:55 Diperbarui: 28 Februari 2016   20:14 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bayangkan sekelompok orang makan bersama di suatu mall.  Di mall tersebut terdapat kedai makanan sehat tetapi kurang enak dan makanan fast food yang menggiurkan.  Semua orang dalam kelompok tersebut peduli terhadap kesehatan dan terhadap enak tidaknya makanan, tetapi dengan tingkat kepedulian yang berbeda – beda.  Akibatnya ada sebagian yang memilih opsi makan sehat dan ada sebagian yang memilih makan fast food.  Bila target kita adalah agar kelompok tersebut makan sehat, maka kita telah gagal. 

Walaupun ada anggota kelompok yang makan sehat tetapi ada juga yang memilih fast food. Opsi yang terpolarisasi memaksa orang untuk memilih.  Ada orang – orang dalam kelompok tersebut yang ingin menyehatkan diri tetapi tidak ingin makan tidak enak.  Maka mereka terpaksa makan fast food.  Hal inilah yang terjadi dalam masyarakat Indonesia di era globalisasi ini.

Budaya Indonesia mengalami krisis.  Seperti barang yang tidak laku, harganya menurun alias dipandang murahan, kampungan dan tidak hot.  Masyarakat – tidak hanya generasi muda – lebih memilih budaya luar, baik itu dari Asia maupun Barat.  Hal ini terlihat dari pakaian, makanan, hingga musik.

Zaman sekarang, tidak mungkin membendung masuknya budaya luar dan modernisasi.  Ideologi kita merupakan ideologi terbuka yang tidak menutup diri terhadap perkembangan jaman dan ide – ide baru.  Kita juga tidak bisa menghipnotis seluruh rakyat Indonesia agar ikut ekstrakurikuler menari tradisional, menonton pagelaran wayang, dan berpakaian tradisional.  Hal itu tidak praktis dan bertentangan dengan prinsip – prinsip Pancasila.

Maka solusi yang tepat bukan dengan cara memaksa masyarakat untuk meninggalkan kesukaan dan hobi mereka, apalagi memandang bahwa sebenarnya sebagian besar masyarakat ingin ikut melestarikan budaya Indonesia.  Masalahnya adalah bahwa seringkali mereka dipaksa memilih antara kesukaan mereka dengan budaya Indonesia.  Dengan demikian yang harus kita lakukan adalah memfusikan budaya Indonesia dengan kemajuan teknologi dan budaya luar.  Prinsip ini dapat diterapkan di berbagai bidang kehidupan.

Contoh dalam bidang pembangunan adalah rumah yang dibangun berdasarkan prinsip – prinsip arsitektur modern dan memanfaatkan bahan bangunan tahan lama seperti batu dan baja, tetapi memiliki interior yang dihiasi ukiran kayu serta memiliki taman yang ditata dengan cara Jawa.  Bila disuruh memilih antara Joglo yang rawan roboh dimakan rayap dengan rumah modern, tentu banyak orang akan memilih rumah modern.  Lantas daripada membiarkan Joglo punah, bukankah lebih baik apabila kita menyediakan alternatif yang memiliki kenyamanan – kenyamanan layaknya rumah modern tetapi masih bercirikan Jawa?

Selain rumah, amalgamasi budaya dapat dilihat dalam Gamelan Soepra – singkatan dari Soegijapranata.  Gamelan Soepra merupakan gamelan diatonis (tangga nada dengan inkremen ½  nada yang biasa digunakan alat musik Barat seperti piano atau gitar) sehingga dapat memainkan lagu – lagu tradisional, nasional, maupun modern.  Kepopuleran konser – konser Gamelan Soepra membuktikan bahwa masyarakat ingin tetap melestarikan budaya tradisional sembari menikmati musik modern yang mereka sukai.

Sebaliknya, selain musik tradisional yang mengadopsi karakteristik musik modern, musik modern dapat mengadopsi karakter musik tradisional.  Contohnya adalah lagu Fragmen karya Jaya Suprana.  Fragmen sangat populer di kalangan pianis baik dari dalam negeri maupun luar negeri karena kompleksitasnya menyerupai lagu – lagu klasik yang digubah komposer – komposer Eropa tetapi masih mempertahankan ciri khas Indonesia – Fragmen berusaha menghasilkan efek suara seperti gamelan dan memiliki melodi yang berbasis tangga nada pentatonis (tangga nada yang digunakan gamelan).  Hasilnya adalah lagu yang dapat mempromosikan budaya Indonesia di dunia internasional.

Budaya kita merupakan warisan sejarah dan harta yang diturunkan dari nenek moyang kita.  Kita sebagai generasi penerus harus menemukan cara untuk mempertahankan warisan ini.  Kita bukanlah negara komunis yang menutup diri.  Kita juga bukanlah budak Barat yang rela membuang budaya sendiri demi budaya luar.  Kita adalah bangsa Indonesia, yang terbuka terhadap budaya luar dan perubahan, tetapi dapat mempertahankan ruh budaya Indonesia.

Cheng Katrin Cornelia Chandra

SMA Kolese Loyola

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun