Selama ini, ketika kita berbicara tentang ekonomi yang terbesit di dalam kepala kita hanya tentang angka kebijakan inflasi, investasi, pajak, atau bahkan suku bunga. Namun, dibalik semua kebijakan dan angka itu memiliki salah satu garis dasarnya yaitu: feminisme.
Ketika perempuan diberi peran dalam mengambil tindakan ekonomi, maka tentu cenderung memiliki produktivitas lebih tinggi, kemiskinan berkurang, hingga peningkatan kesejahteraan. Sebaliknya, ketidaksetaraan gender dapat menghambat potensi ekonomi karena setengah dari populasi tidak dapat berkontribusi secara optimal. Data pada BPS menunjukkan bahwa pada Februari 2024, 55,41% dari perempuan dalam usia kerja di Indonesia berpartisipasi dalam angkatan kerja. Namun, dari total pekerja yang ada, hanya 33,52% yang merupakan perempuan. Bahkan dalam sektor formal, proporsi perempuan pekerja hanya 36,32 % jauh tertinggal dari laki-laki. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan gender dalam dunia kerja. Lalu, pernahkah terpikir bahwa feminisme bisa jadi strategi ekonomi?
Apa itu feminisme?
Feminisme seringkali disalah pahami tentang menentang laki-laki dan mengedepankan ujaran kebencian terhadap mereka. Padahal, tujuan utama dari feminisme adalah untuk menciptakan masyarakat yang setara, adil, memiliki kesempatan yang sama tanpa memandang jenis kelamin. Feminisme berfokus pada pemberdayaan perempuan dan pengakuan pada hak-hak mereka, dalam hal ini laki-laki juga diuntungkan dalam konteks kesetaraan gender karena dapat mengurangi beban stereotip gender yang sering kali membatasi mereka. Ajizah & Khomisah (2021) menegaskan bahwa “Kesetaraan gender merupakan situasi yang dinamis, di mana laki-laki dan perempuan memiliki hak, kewajiban, peran dan kesempatan yang dilandasi rasa saling menghormati, menghargai dan mendukung di berbagai sektor kehidupan, baik dalam keluarga, masyarakat …”
Feminisme dan kontribusi ekonomi
Peran perempuan dan ekonomi tidak hanya sebatas pada sektor formal, tetapi juga mencakup pekerjaan tidak berbayar yang sering diabaikan seperti mengurus rumah tangga dan caregiving. Kemenppa mencatat bahwa “Perempuan menanggung bagian yang tidak setara dalam pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan yang tidak dibayar, dan ini mempengaruhi partisipasi mereka dalam kegiatan ekonomi dan sosial…” Sehingga, feminisme dalam kontribusi ekonomi menuntut pengakuan atas nilai nyata dan peningkatan dukungan terhadap perempuan agar potensi termanfaatkan secara optimal.
Pengakuan terhadap peran perempuan dalam ekonomi bukan hanya terjadi di level nasional, tetapi juga telah dibuktikan secara nyata oleh negara lain. Salah satunya adalah Australia, yang berhasil naik peringkat dalam laporan Global Gender Gap tahun 2025. Ini terjadi karena adanya kemajuan signifikan dalam pemberdayaan politik perempuan, pencapaian pendidikan, serta yang paling menonjol: peningkatan partisipasi ekonomi perempuan. Data ini menjadi bukti kuat bahwa ketika perempuan diberi ruang dan akses setara dalam dunia kerja dan pengambilan keputusan, maka kemajuan ekonomi bukan hanya mungkin, tetapi nyata terjadi (News.com.au, 2025).
Kita perlu memahami bahwa feminisme harus diposisikan sebagai kerangka berpikir strategis dalam pembangunan ekonomi. Feminisme seharusnya tidak dibatasi pada isu sosial semata, melainkan dipahami sebagai pendekatan yang mampu membuka ruang partisipasi ekonomi yang adil, terutama bagi perempuan yang selama ini tersembunyi di balik kerja-kerja tak berbayar dan peran ganda. Dengan demikian, feminisme perlu diarahkan dan diterapkan melalui pendekatan yang dimulai dari edukasi publik, penguatan kebijakan internal budaya kerja, serta komitmen negara untuk menghadirkan sistem ekonomi yang inklusif. Jika diposisikan secara tepat, feminisme dapat menjadi kekuatan transformasional menciptakan struktur sosial yang adil tanpa ada stereotip gender.
Mengapa ini belum disadari?
Masih banyak pengambilan keputusan struktural dan budaya patriarki menghalangi pentingnya feminisme di dalam ekonomi. Masyarakat masih menganggap perempuan tidak memiliki suara yang cukup untuk dapat menyampaikan perspektifnya dan diabaikan dalam menyampaikan keputusan kebijakan dan strategi ekonomi. Misalnya, di parlemen, hanya sekitar 21,9 % anggota DPR pada periode 2024–2029 yang perempuan. Di Kabinet Merah Putih (2024), hanya 5 dari 53 menteri atau sekitar 9 % yang perempuan. Ini menunjukkan bahwa suara perempuan masih terbatas dalam pembuatan politik hingga kebijakan ekonomi dan pucuk kekuasaan masih dikuasai laki-laki.
Di sisi lain, apakah benar sistemnya tidak terbuka, ataukah perempuan memang masih menghadapi hambatan internal seperti beban ganda dan kurangnya akses untuk berjuang di ruang publik? Keduanya bisa jadi saling berkaitan, dan justru memperkuat pentingnya penerapan nilai-nilai feminis dalam setiap level pengambilan keputusan ekonomi.