Rencananya, bila mendapat tanggapan baik, maka perubahan itu bisa "dimulai Januari 2022 dan uji coba selama satu tahun di seluruh level turnamen. Setelah satu tahun, kami juga mengusulkan harus ada feedback dari para pemain."
Seberapa mampu?
Apakah usulan Indonesia dan Maladewa bakal mendapat sambutan positif saat Rapat Umum Tahunan nanti? Membaca sejumlah arus pembicaraan dan informasi rasa-rasanya peluang itu terbuka lebar. Beberapa isyarat bisa diangkat.
Pertama, menanggapi soal usulan Indonesia Poul-Erik cukup antusias. Ia bahkan menyambut baik proposal itu. Menurutnya, usulan itu sejalan dengan visinya. Lengkapnya demikian.
"Perubahan sistem penilaian yang diusulkan adalah bagian dari visi saya untuk menjadikan bulu tangkis lebih menarik dan meningkatkan nilai hiburan bagi pemangku kepentingan dan penggemar."
Poul jelas orang berpengaruh di BWF saat ini. Pria asal Denmark itu sudah dua periode memimpin BWF, sejak Mei 2013, berlanjut pada 2017 lalu.
Suara dan pendapat pria 55 tahun itu tentu bisa mempengaruhi para anggota lainnya. Ia sadar kegagalan proposal serupa sebelumnya karena waktu yang tak tepat. Sementara ketika diusulkan sekali lagi saat ini, maka tidak ada alasan yang lebih kuat untuk menolaknya.
"Ini hanya diusulkan untuk diperkenalkan setelah Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo 2020. Jadi, saya yakin ini adalah waktu yang lebih baik untuk memengaruhi perubahan ini. "
Kedua, tidak hanya Indonesia dan Maladewa yang getol memperjuangkan usulan itu. Konfederasi Badminton Asia (BAC) pun mendukungnya.
Menariknya, BAC saat ini dipimpin Anton Aditya Subowo. Posisi sebagai Presiden BAC disandang Anton untuk kedua kalinya, setelah kembali terpilih pada Rapat Umum Tahunan di Nanning, Tiongkok, 2019 lalu. Sebagai Incumbent, ia kembali menahkodai BAC hingga 2023 mendatang.
Saat kembali terpilih, Anton menekankan pentingnya persatuan negara-negara Asia untuk memajukan olahraga tersebut. Ia juga mendorong Asia untuk lebih berani dan lantang bersuara di hadapan BWF.