Mohon tunggu...
Chandra Wahyu
Chandra Wahyu Mohon Tunggu... Administrasi - lahir dan besar di purworejo, kuliah di semarang-jakarta-jogja, pernah kerja di padang sekarang di jogja

tukang ngumpulin data di Badan Pusat Statistik Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Indeks Kebahagiaan dan Falsafah Hidup Masyarakat Jawa

14 November 2017   22:38 Diperbarui: 15 November 2017   22:10 1411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahagiakah dengan kehidupan Anda saat ini ?

Pertanyaan ini ternyata tidak mudah untuk dijawab, dan setiap orang akan berbeda-beda dalam mempersepsikan rasa bahagia yang dialaminya.

Berbagai capaian dalam hidup seseorang terkait dengan kondisi kehidupan pribadi atau keluarga, kehidupan sosial, ekonomi, dan dampak dari lingkungan sekitar akan mempengaruhi persepsi seseorang dalam memaknai kebahagiaan.

Mungkin sebagian orang akan memaknai bahagia  dengan membandingkan banyak kejadian yang terkait dengan hal-hal yang menyenangkan dan kejadian yang menyedihkan. Atau ketika cita-cita atau bahkan tujuan hidup sudah tercapai bisa dipersepsikan disitulah sudah merasa bahagia. 

Hubungan dengan keluarga besar yang harmonis, terjalinnya hubungan yang baik dengan tetangga dan lingkungan sekitar tempat tinggal, saling menghormati dan menghargai, memiliki komunitas dan sahabat yang saling mendukung, termasuk dukungan dari aspek keamanan dan kenyamanan lingkungan. Itu adalah sebagian unsur yang membuat seseorang merasa bahagia dalam hidupnya.

*

Hasil survei tahun 2017 yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) terkait tingkat kebahagiaan masyarakat Yogyakarta (baca=jawa) ternyata menempatkan dimensi makna hidup (eudaimonia) sebagai dimensi dengan indeks tertinggi (73,49) dibandingkan dengan 2 dimensi lain yang diukur yaitu dimensi kepuasan hidup-life satisfaction (71,98) dan dimensi perasaan-affect (73,38).

Unsur yang ada dalam dimensi eudaimonia  ini sangat berkaitan dengan falsafah hidup dan budaya masyarakat Yogyakarta (baca=jawa) dalam menjalani kehidupannya. 

Sebut saja  falsafah nerima ing pandum, yang artinya menerima segala pemberian. Falsafah ini mengajarkan bahwa sebaiknya setiap manusia bisa ikhlas atas apa yang diterima dalam kehidupan atau legowo dalam menghadapi setiap lika-liku kehidupan. Memang tidak  mudah untuk mengaplikasikan hal ini dalam kehidupan sehari-hari. 

Nafsu, ambisi dan keinginan manusia yang tinggi untuk urusan duniawi terkadang membuat manusia lupa bahwa segala sesuatu di alam ini sudah ada yang mengaturnya. Begitu juga ketika pencapaian-pencapaian dalam kehidupannya baik terkait kebendaan  dan hal-hal yang bersifat duniawi lainnya tidak sesuai dengan apa yang sudah dipikirkannya. Falsafah nerima ing pandum terkait dengan unsur penerimaaan diri dalam dimensi makna hidup.

Falsafah yang kedua yaitu Hamemayu Hayuning Bawono yang memiliki arti mempercantik alam yang sudah cantik. Hamemayu Hayuning Bawono tidak bisa terwujud begitu saja tanpa adanya Rahayuning Bawono Kapurbo Waskithaning Manungso atau kelestarian alam tidak akan terwujud tanpa adanya kewaspadaan manusia. Kewaspadan yang dimaksud adalah kewaspadaan terhadap degradasi lingkungan yang akan terjadi apabila manusia mulai serakah. Sehingga dengan adanya falsafah tersebut, diharapkan masyarakat Yogyakarta tidak menjadi masyarakat yang serakah dalam mengelola kekayaan alam yang ada. Falsafah ini sepertinya sejalan dengan unsur penguasaan lingkungan dalam dimensi makna hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun