Mohon tunggu...
Chandra Muliawan
Chandra Muliawan Mohon Tunggu... profesional -

Ketua Departemen Advokasi DEWAN RAKYAT LAMPUNG 2013 - 2015\r\n\r\nKa. Divisi EKOSOB LBH Bandar Lampung\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Terbiasa Gagal Paham

18 November 2013   08:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:01 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terbiasa Gagal paHAM

Oleh:

Chandra Muliawan,S.H.

Ka. Divisi EKOSOB YLBHI LBH Bandar Lampung

Pemerintah hari ini tidak memiliki arah yang jelas terhadap politik pengelolaan sumber daya alam bangsa yang seyogyanya berbasiskan kesejahteraan rakyat sebagaimana amanat konstitusional negara. Rumusan UUD 1945 terdapat secara eksplisit ataupun implisit pandangan-pandangan dan nilai-nilai fundamental, UUD 1945 disamping sebagai konstitusi politik (political constitution), juga merupakan konstitusi ekonomi (economicconstitution), bahkan konstitusi sosial (social constitution). Berbagai kebijakan di sektor pengelolaan SDA, Pemerintah telah mengabaikan Prinsip-prinsip dasar dalam Konstitusi sebagaimana diamanatkan dalam Rumusan Pasal yang memiliki dimensi pengaturan ekonomi dan kesejahteraan sosial yang tertuang di dalam pasal 33 UUD 1945. Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan bagi sistem ekonomi Pancasila, yang lebih dikenal dengan demokrasi ekonomi.

Air, merupakan SDA yang terbatas dan merupakan suatu barang “publik” yang sangat fundamental bagi kehidupan dan kesehatan. Kewenangan Negara (Pemerintah) untuk menguasai hal-hal ikhwal yang menguasai hajat hidup orang banyak, sebagai konsekuensi logis dan yuridis dari penyerahan kewenangan dari rakyat kepada penguasa dalam hal pengelolaan yang seharusnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran ini telah gagal di pahami terlebih dilaksanakan oleh Pemerintah. Karena hak atas air merupakan Hak asasi manusia yang tidak bisa ditinggalkan dalam menjalani suatu kehidupan yang bermartabat. Hak atas air berisikan kebebasan-kebebasan dan hak-hak. Kebebasan ini termasuk hak untuk menjaga akses kepada suplai air yang ada dan hak untuk bebas dari gangguan yang ada. Air harus diperlakukan sebagai suatu barang sosial dan budaya, tidak hanya sebagai barang ekonomis. Kemudian, pemenuhan hak atas air itu harus bersifat berkelanjutan, menjamin bahwa hak tersebut dapat terus dipenuhi untuk generasi sekarang dan yang akan datang.

Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan bahwa 1,1 milyar orang tidak mempunyai akses kepada suplai air yang memadai (80% diantaranya merupakan penduduk pedesaan) yang bisa setidaknya menyediakan 20 liter air per orang setiap hari. Keadaan yang demikian tentunya serasi dengan apa yang terjadi hari ini dan kita rasakan bersama. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, maka air dipandang sebagai komoditas untuk komersialisasi. Dengan dibukanya pihak swasta untuk dapat berperan seluas-luasnya dalam pengelolaan air, akan terjadi prinsip opportunity cost dimana pihak yang berani membayar lebih akan lebih dimenangkan. Alhasil, Peraturan Daerah (Perda) serta kebijakan lain yang terkait privatisasi air kian menjamur. Betapa tidak, beberapa pasal dalam peraturan tersebut memberikan peluang privatisasi sektor penyediaan air minum, dan penguasaan sumber-sumber air (air tanah, air permukaan, dan sebagian badan sungai) oleh badan usaha dan individu. Akibatnya, hak atas air bagi setiap individu terancam dengan adanya agenda privatisasi dan komersialisasi air.

Masih dan tetap...

Kesalahpahaman memaknai dan meng-implementasikan mengenai hak ekonomi, sosial, dan budaya dalam pemenuhan hak atas air ini adalah salah satu sebab pokok adanya pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya itu sendiri. Pertama, hak ini lebih cenderung dianggap sebagai aspirasi belaka dari pada suatu hak yang harus ditegakkan atau harus dipenuhi. Pejabat negara daerah atau pusat memperlihatkan kegagalan paham akan hal itu. Kedua adalah anggapan bahwa pemenuhan hak-hak sosial ekonomi berupa hak atas air hanya dan hanya dapat dilakukan melalui kebijakan pembangunan melalui sarana Investasi dan akumulasi modal, yang kemudian anggapan bahwa realisasi hak-hak tersebut memerlukan waktu dan dilakukan secara bertahap. Tentunya hal demikianlah yang menjadikan pengelolaan serta konsistensi terhadap pengelolaan tersebut acapkali dan sudah menjadi pola pikir yang sesat, kemudian menjadi akumulasi kebijakan yang tidak terarah dan mengarah kepada kesesatan itu sendiri.

Salah satu polemik yang hingga hari ini masih kita saksikan sebagai masyarakat kota Bandar lampung ialah tidak jelasnya Kapan realisasi Penutupan Sumur Bor milik CV. Handali Higien yang berlokasi di desa Sumber Agung Kecamatan Kemiling. Setidaknya dari bulan september lalu sudah diperintahkan oleh Walikota Bandar lampung untuk ditutup. Hal yang perlu diperhatikan ialah bahwa sanya hal itu tidak selesai hanya dengan Selembar surat Perintah Penutupan yang ditujukan untuk Perusahaan tersebut. Diperlukan komitmen yang nyata dan langsung dapat menjawab keresahan warga yang terkena dampak langsung daripadanya. Seperti diketahui bahwa lokasi Kecamatan Kemiling, termasuk Desa Sumber Agung merupakan daerah tangkapan air, yang kemudian oleh Pemerintah Kota dikeluarkan izin kepada CV. Handali Higien untuk melakukan usaha dalam kegiatan produksi Perusahaan Air Minum komersil.

Seharusnya, pihak Pemerintah Kota dalam hal ini BPPLH Bandar lampung dapat memberikan jawaban terhadap keresahan warga kemiling tersebut. Sebagai upaya menunaikan kewajiban dalam hal menghormati (respect), melindungi (protect) serta memenuhi (fulfil) hak-hak ekosob dalam bentuk penegakan aturan dengan cara memimpin langsung “upacara” penutupan Sumur bor yang menjadi objek polemik tersebut.

Cara pandang seperti inilah yang harus segera diubah, karena hal inilah yang membuat tidak berkembangnya hak ekonomi, sosial, dan budaya. Jika sejak dalam pikiran sudah ada anggapan bahwa hak ekonomi, sosial, dan budaya bukan hak asasi manusia maka dengan sendirinya pemenuhan, perlindungan, maupun pengakuan terhadap hak-hak tersebut menjadi rendah. Memang tidak mudah, membutuhkan energi dan konsistensi dari Pemerintah sebagai pemangku Kewajiban dari pemenuhan HAM, khususnya dalam hal memenuhi atas kewajiban memfasilitasi, mempromosikan dan menyediakan. Kewajiban untuk memfasilitasi mengharuskan Pemerintah mengambil tingkah positif untuk membantu individu-individu atau kelompok-kelompok menikmati hak ini.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun