(Bagian 2)
Oleh: Chrirsadmojo
Kelompencapir menjadi Kelompencapil
Kawan, hakikinya dalam kaitan dengan pembangunan kultur literasi kelisanan ini, bangsa Indonesia memiliki pengalaman sejarah yang panjang. Pengalaman yang paling dekat adalah pembangunan kultur literasi melalui gerakan persemukaan kelisanan yang dimediasi dengan teknologi komunikasi elektronika, televisi.Â
Secara terstruktur, dan tersentralisasi, kegiatan ini didesain, diisi, dan dikemas selaras dengan hajat hidup masyarakat yang paling dasar. Masyarakat ujung tombak pengeksekusi pembangunan dilibatkan. Kegiatan ini dipublikasi secara efektif dengan predikat "kelompencapir". Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa.
Kegiatan "kelompencapir" di TVRI pada era 1980-an ini sebagai wujud teater empiris yang sangat sukses mempergelarkan realitas kehidupan sebagai kegiatan budaya (Irsyad, 2011: 148). Sebagai wahana pendewasaan kemampuan literasi segenap generasi bangsa, "kelompencapir" sukses membesut fungsinya dalam kultur kelisanan. Namun, "kelompencapir" masih harus selangkah lagi untuk memerankan fungsinya sebagai pembangun kultur modern, kultur keberaaksaraan, berupa aktivitas membaca dan menulis secara kreatif, inovatif, dan kritis.
Kawan, agaknya "kelompencapir" perlu dihidupkan kembali. Direvitalisasi dengan predikat baru "kelompencapirlis", dengan tambahan "-lis" atau menjadi "kelompencapil" dengan mengubah "r" menjadi "l" sebagai tanda aktivitas tambahan "penulis". Dengan demikian, besuk "kelompencaperlis" atau "kelompencapil" merupakan kependekan dari "kelompok pendengar, pembaca, pemirsa, penulis". Atau tetap dengan predikat "kelompencapir", namun diberdayakan dengan mengedepankan tradisi keberaksaraan (literacy) dalam setiap kali performansi keteaterannya.
***
Selanjutnya saat menjelang akhir sesi sempat saya paparkan juga pada 30 Mei 2015 itu bahwa:
Berkenaan dengan realitas gerakan literasi di Kota Surabaya hingga dewasa ini, dengan mengutip pesan Multatuli, bahwa "Kita tidak berpesta panen padi di sawah, melainkan kita berpesta panen padi yang kita tanam di sawah", Eyang Suparto Brata menganggap pesan penulis buku Max Havelaar ini adalah kiasan mengenai buku perpustakaan Indonesia saat ini. Bagi Eyang Suparto Brata, kiasan "pesta memanen padi di sawah" ini merupakan pendeskripsian tentang banyaknya penerbitan buku, banyaknya toko buku, dan banyaknya perpustakaan (Pakistyaningsih, 2014: 37-38).
Kawan, menurut Eyang Suparto Brata, kalau semua itu berjalan lancar, yang berarti buku diterbitkan banyak, laku keras, toko buku laris, perpustakaan dan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) banyak pengujungnya, itu semua merupakan pesta, "... berpesta panen padi di sawah". Pesta yang bukan "... berpesta panen padi yang kita tanam di sawah".