Mohon tunggu...
Chalula Aishandra
Chalula Aishandra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Government Science

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Negara Mati Karena Korupsi

17 April 2021   01:12 Diperbarui: 17 April 2021   01:37 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Korupsi, koruptor, pencuri, uang adalah hal yang sekiranya tidak asing kita dengar selama ini. Di Indonesia korupsi sudah menjadi hal biasa. Korupsi itu bagaikan sebuah pisau yang tajam menusuk pemegang pisau itu sama seperti halnya korupsi yang menusuk perekonomian sebuah negara. Orang yang melakukan tindak korupsi sering disebut sebagai koruptor atau bisa disebut sebagai tikus berdasi seperti lagu Iwan Fals. Hal tersebut dikarenakan para koruptor tidak lain adalah wakil atau kepercayaan rakyat untuk mewakilkan suara rakyat untuk sebuah negara. Seakan-akan di Indonesia ini sebuah tindakan buruk tidak bernilai dan tidak bermatabat karena sebuah sikap yang jujur pun tidak berarti dibandingkan uang. Meskipun uang yang mereka kelola adalah keuangan milik rakyat, sungguh miris jika uang yang bukan menjadi haknya direnggut seenaknya oleh para koruptor. Memang benar selama ini pemerintah Indonesia telah banyak berusaha untuk menghentikan aksi koruptor yang terjadi selama ini. Pemerintah tidak hanya menghentikan namun juga menindak pidanai hukum hukum korupsi yang berlaku mencabut semua akar akar korupsi yang ada di Indonesia.

 

Terkadang, pemerintah sebagai penanggung jawab pun masih bisa bertindak seenaknya sendiri terhadap tanggung jawab yang dikelola. Tindak-tindak pidana yang dilakukan terhadap negaranya sendiri seperti tindak korupsi kolusi maupun nepotisme dengan memberi pengertian-pengertian moral dan penekanan pendidikan karakter untuk generasi bangsa agar menghindarkan generasi bangsa menjadi pelaku korupsi. Dengan begitu, diharapkan dapat memperbaiki sistem ekonomi dalam tanah air  yang memiliki tingkat korupsi yang tinggi di antara negara-negara lain sehingga kedepannya generasi Indonesia menjadi  generasi yang unggul yang mampu menciptakan sistem ekonomi yang stabil dengan tingkat korupsi yang rendah. Dengan demikian, sebuah negara dikatakan hidup jika pendidikan karakter baik dan tingkat korupsi rendah.

 

Korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini, sudah dalam posisi yang sangat parah dan begitu mengakar dalam setiap sendi kehidupan negara. Perkembangan praktek korupsi dari tahun ke tahun semakin meningkat, baik dari kuantitas atau jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas yang semakin sistematis, canggih serta lingkupnya sudah meluas dalam seluruh aspek masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Maraknya kasus tindak pidana korupsi di Indonesia, tidak lagi mengenal batas-batas siapa, mengapa, dan bagaimana. Tidak hanya pemangku jabatan dan kepentingan saja yang melakukan tindak pidana korupsi, baik di sektor publik maupun privat, tetapi tindak pidana korupsi sudah menjadi suatu fenomena. Penyelenggaraan negara yang bersih menjadi penting dan sangat diperlukan untuk menghindari praktek-praktek korupsi yang tidak saja melibatkan pejabat bersangkutan, tetapi juga oleh keluarga dan kroninya, yang apabila dibiarkan, maka rakyat Indonesia akan berada dalam posisi yang sangat dirugikan.

 

Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa, karena dapat merusak sendi-sendi kehidupan bernegara. Namun demikian, pada 4 kenyataannya, penjatuhan hukuman kepada pelakunya sangat ringan dibanding dengan ancaman pidananya, sehingga menimbulkan anggapan bahwa meningkatnya kejahatan dikarenakan para Hakim memberikan hukuman ringan atas pelaku koruptor. Oleh karena itu, sebaiknya tindakan yang diambil pengadilan merupakan "ultimum remedium" terhadap pelanggar/pelaku kejahatan khususnya korupsi.

 

Seperti yang telah kita ketahui bahwa korupsi merupakan suatu tindakan yang sangat merugikan sehingga bisa dikatakan kasus korupsi yang ada di Indonesia sangat memprihatinkan, karena banyaknya petinggi negara yang melanggar janji yang dari awal dibuat, serta mereka tidak memikirkan rakyat kecil yang sedang kesusahan untuk mencari uang sedangkan mereka tengah bersenang-senang dengan uang yang seharusnya bukan hak mereka. Terlebih pada kasus korupsi menteri terhadap bansos Covid-19 yang sangat keterlaluan. Ketika rakyat sedang bersusah payah untuk menstabilkan perekonomiannya, para pejabat yang tidak bertanggung jawa malah sibuk menguntungkan diri. Bagi saya seharusnya korupsi lebih baik tidak ada toleransi untuk hukumannya, antara hukuman mati atau penjara seumur hidup. Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekadar suatu kebiasaan. Adapun kasus korupsi pada masa pandemi saat ini terutama dilakukan oleh Menteri Sosial Julia Batubara merupakan hal yang sungguh memalukan, terutama dilakukan oleh seorang pejabat negara yang memiliki kewajiban dan telah yang diambil sumpah untuk rakyat malah justru bisa dikatakan berkhianat apabila tidak dilakukan sendirian.

Dalam hal ini mendapat sorotan dari Kementerian Sosial memastikan akan bekerja sama penuh dan membuka akses informasi yang diperlukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi bansos Covid-19 dengan tersangka pejabat Kementerian Sosial, salah satunya Menteri Sosial Juliari Batubara. Yang mana termaktub dalam Pasal 2 Ayat 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi, korupsi dalam pengelolaan keadaan tertentu, termasuk bencana, dapat dijatuhi pidana mati. Diawali kasus dugaan penerimaan korupsi oleh Juliari Batubara bermula dari penunjukan kedua tersangka lainnya, yakni MJS dan AW, sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PKK) dalam pengadaan dan penyaluran bansos untuk penanggulangan Covid-19 dari Kemensos. MJS dan AW selaku PPK kemudian menunjuk langsung rekanan dalam program pengadaan dan penyaluran Bansos Covid-19. Dalam penunjukkan langsung tersebut diduga ada fee yang dijanjikan untuk tiap paket pengerjaan program bansos yang harus disetorkan ke Kemensos melalui MJS. Besaran fee pada tiap paket ditentukan sebesar Rp 10.000 dari nilai Rp 300.000 per paket bansos. Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama, imbuh dia, diduga diterima fee Rp 12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh MJS kepada JPB melalui AW. Adapun total sekitar Rp 8,2 miliar yang diterima JPB. Pemberian uang tersebut selanjutnya dikelola oleh EK dan SN selaku orang kepercayaan Juliari untuk digunakan membayar berbagai keperluan pribadi sang menteri. Untuk periode kedua pelaksanaan paket bansos sembako, terkumpul uang fee dari Oktober sampai Desember 2020 sekitar Rp 8,8 miliar. Dengan demikian, uang korupsi yang telah diterima Juliari dari pengadaan dan penyaluran bansos Covid-19 sebesar Rp 17 miliar.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun