Mohon tunggu...
Chaerol Riezal
Chaerol Riezal Mohon Tunggu... Sejarawan - Chaerol Riezal

Lulusan Program Studi Pendidikan Sejarah (S1) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Program Studi Magister Pendidikan Sejarah (S2) Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan saat ini sedang menempuh Program Studi Doktor Pendidikan Sejarah (S3) Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang hobinya membaca, menulis, mempelajari berbagai sejarah, budaya, politik, sosial kemasyarakatan dan isu-isu terkini. Miliki blog pribadi; http://chaerolriezal.blogspot.co.id/. Bisa dihubungi lewat email: chaerolriezal@gmail.com atau sosial media.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

The Top One: Duel antara Aceh dan Belanda, Tesis dan Antitesis

9 Juni 2017   19:17 Diperbarui: 9 Juni 2017   20:50 930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Chaerol Riezal*

Dalam proses pencarian pengetahuan dan kebenaran dalam hidup, rupanya banyak cara yang bisa ditempuh untuk memperoleh hal tersebut. Seperti kata sebuah pepatah; “Ada banyak jalan menuju Roma”, maka ada banyak cara pula untuk menemukan kebenaran, walau memang belum tentu kebenaran tersebut akan bersifat absolut untuk selama-lamanya.

Dari sekian banyaknya cara dalam menganalisa ataupun menemukan pengetahuan dan kebenaran itu, ada sebuah cara yang bisa digunakan dan masih cocok untuk digunakan hingga masa kini. Cara tersebut dijabarkan oleh seorang filsuf asal Jerman, Georg Wilhelm Friedrich Hegel, dalam bentuk model dialektika yang dikenal sebagai dialektika Hegel.

Sampai saat ini pun, model dialektika Hegel ini masih cocok digunakan sebagai salah satu cara untuk mencari pengetahuan atau kebenaran dalam hidup. Dialektika yang juga kerapkali disebut sebagai “Ritme Tiga Hentakan” ini terdiri dari tiga istilah, yaitu Tesis, Antitesis, dan Sintesis.

images-593a8f633f23bd83404adac4.jpg
images-593a8f633f23bd83404adac4.jpg
Tesis dan Antitesis, merujuk pada model dialektika Hegel, adalah dua nilai yang saling bertabrakan dan bertentangan dalam hidup. Kedua istilah ini boleh dikatakan mirip-mirip dengan pro dan kontra, dua kutub yang kerap muncul kala sesuatu dalam hidup terjadi.

Namun meski keduanya saling bertentangan, jika keduanya saling bertemu dan bertegur sapa dalam kehidupan, gejolak dari kedua istilah tersebut memunculkan sebuah istilah baru, yaitu Sintesis. Sintesis ini bisa dianggap sebagai hasil pencocokan nilai dari Tesis dan Antitesis, yang kelak juga akan menjadi Tesis jika ia menemukan Antitesis yang baru.

Karena sifatnya yang adaptable (mudah untuk beradaptasi) dan masih tetap relevan untuk digunakan setidaknya sampai sekarang, maka tak heran jika dialektika ini, walau tak disadari masih tetap digunakan oleh kebanyakan orang (masyarakat) sampai sekarang. Contoh paling sederhana adalah dalam bergaul, yaitu ketika Tesis yang berada di dalam diri kita harus menyesuaikan diri dengan Antitesis yang berada di dalam diri orang lain untuk membentuk sebuah Sintesis yang bernama pertemanan atau persahabatan.

Oleh karena itu, saya berpikir apakah dialektika Hegel ini bisa dipakai untuk menulis tentang Aceh dan Belanda? Ya, tentu saja, kenapa tidak? Adaptability (kemampuan beradaptasi) dari Tesis dan Antitesis ini membuatnya bisa juga digunakan untuk membedah dua kutub yang berbeda dan dua kekuatan besar perang, yaitu Aceh dan Belanda. Bukankah keduanya menyajikan rivalitas perang yang maha dasyat, yang berawal dari Tesis dan Antitesis yang terkandung di dalam diri mereka masing-masing.

Pertemuan si Tesis (Aceh) dengan si Antitesis (Belanda)

Entah kenapa, ketika kita membahas masalah Belanda dan Aceh, pembicaraan kedua belah pihak itu selalu saja bertumpu pada Perang Belanda di Aceh yang resmi dimulai ketika ultimatum perang dicetuskan (26 Maret 1873). Jika kita mau menarik sejarah Aceh lebih jauh lagi, tepatnya pada masa Kerajaan Aceh Darussalam, ternyata pertemuan antara Belanda dan Aceh sudah dimulai pada waktu itu. Hanya saja, pada pertemuan saat itu tidak seperti dalam pertemuan 1873 yang berakhir dengan perang. Ada sedikit ketenangan waktu itu, meskipun juga terdapat sedikit ketegangan.

Pada waktu Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh Sultan Ala’udin Ri’ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu Sultan Firmansyah (1589-1604), kolonialisme Eropa kian merasuki bumi Nusantara dengan mulai masuknya Inggris dan Belanda. Pada tanggal 21 Juni 1595, armada dagang Belanda yang dipimpin oleh De Houtman bersaudara, Cornelis dan Frederick, tiba di Aceh. Cornelis memimpin kapal “De Leeuw”, sementara Frederick bertindak sebagai kapten kapal “De Leeuwin”. Pada awalnya kedatangan orang-orang Belanda disambut hangat oleh Sultan dan penduduk Aceh. Akan tetapi, kemunculan kaum pedagang Belanda di Aceh ternyata dianggap menimbulkan ancaman tersendiri bagi orang-orang Portugis yang sudah berada di sana sebelumnya. Portugis sendiri pada akhirnya dapat dilenyapkan dari bumi Aceh Darussalam pada 1606 berkat kegemilangan serangan yang dipimpin oleh Perkasa Alam yang kelak menjadi Sultan Aceh Darussalam dan mashyur, yaitu Sultan Iskandar Muda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun