Pekerjaan terbesar selanjutnya dari sejarawan akademis adalah menyelenggarakan Seminar Sejarah Nasional Keempat di Yogyakarta tahun 1985. Rupanya seminar tersebut mampu menarik perhatian sejarawan dalam jumlah yang tidak kalah banyak dari Seminar Sejarah Lokal Kedua. Seminar itu di organisasikan berdasarkan pembagian periode, tetapi juga berdasarkan tema-tema.
Walaupun maklumat penulisan sejarah Indonesia baru itu telah didengungkan 59 tahun lalu, bangsa Indonesia masih saja belum mengenal betul seluk beluk sejarahnya sendiri. Bahkan ada pula pihak-pihak yang ingin menghapus sejarah Indonesia, seperti sejarah PKI. Saya tidak mengatakan bahwa saya adalah pendukung PKI. Hanya saja yang ingin saya katakan; sejarah itu tidak pernah bersalah. Yang patut disalahkan itu adalah orang yang menulisnya atau yang menyuruhnya untuk ditulis, bukan malah menyalahkan sejarah. Sepahit apapun sejarah itu harus tetap diungkapkan, seperti halnya sejarah PKI di Indonesia.
Historiografi Indonesia masih perlu diperbarui lagi, itu sangat penting. Bahwa menulis sejarah tidak harus fokus pada tokoh-tokoh penting saja, pada perang atau kerajaan saja, pada masa kolonial saja, tetapi menulis sejarah Indonesia harus lebih dari itu. Sejarah di Indonesia yang belum tersentuh sama sekali, entah itu tentang sejarah lisan, kota, desa, perekonomian, buruh, petani, TNI, Polri, wanita, kebudayaan, pemikiran, maritim, sepakbola, organisasi dan sebagainya haruslah ditulis oleh sejarawan dan peminat sejarah, termasuk juga mahasiswa. Sehingga historiografi Indonesia lebih berwarna apabila tema-tema itu dikupas dan disajikan dalam penulisan sejarah. Untung saja, beberapa tahun belakangan penulisan sejarah Indonesia tentang tema-tema itu sudah mulai bermunculan di pasar-pasar buku.
Bersambung.
= = =
*Chaerol Riezal