Mohon tunggu...
Christian Evan Chandra
Christian Evan Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Narablog

Memiliki kegemaran seputar dunia kuliner, pariwisata, teknologi, motorsport, dan kepenulisan. Saat ini menulis di Kompasiana, Mojok, dan officialcevanideas.wordpress.com. IG: @cevan_321 / Twitter: @official_cevan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menyelesaikan Sekelumit Permasalahan di Sekolah Kita

3 Agustus 2018   19:45 Diperbarui: 3 Agustus 2018   20:05 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam proses pendidikan, sekolah memegang peranan penting sebagai salah satu dari tiga pusat pendidikan (selain orang tua dan masyarakat) sekaligus sebagai lembaga pendidikan formal bagi anak-anak. Sekolah tidak hanya bertanggung jawab dalam memberikan pengetahuan kepada para siswanya, tetapi juga memampukan mereka menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari dengan cara yang baik sehingga kehadiran mereka bermanfaat dan mampu diterima oleh masyarakat. Demi menciptakan masa depan yang baik bagi anak, orang tua rela merogoh kocek yang cukup dalam, menempuh jarak yang cukup jauh untuk mengantar anaknya, bahkan harus pindah rumah pula untuk bisa menempatkan anaknya di sekolah terbaik.

Permasalahannya, hari ini banyak orang tua harus menelan pil pahit. Kenyataan yang mereka hadapi tak sesuai rencana dan harapan, baik mereka yang anaknya menempuh pendidikan di sekolah favorit maupun di sekolah yang biasa saja. Ilmu yang didapat tidak banyak, kemampuan praktek minim karena terlalu ditekan pada teori, sikap dan perilakunya pun seringkali tak sesuai. Ada apa dengan sekolah kita hari ini?

Pertama, sekolah kurang mengajarkan siswa untuk memiliki daya juang yang tinggi dan terkesan memanjakan mereka. Zaman ibu saya dulu, tidak ada pemberian remedial jika nilai ujian anak di bawah standar minimum yang ditetapkan. Tidak ada pula kisi-kisi yang diberikan sebelum ujian sehingga anak harus memahami semua yang sudah dipelajari sebelumnya. Jika terdapat satu nilai merah saja di rapornya, anak langsung tidak naik kelas. Ketika saya bersekolah, kami seringkali mendapatkan kisi-kisi untuk menghadapi ujian bahkan sesekali mendapatkan soal latihan yang ternyata sama persis dengan soal ujiannya. Guru akan memberikan remedial jika jumlah anak yang mendapatkan nilai merah tidak terlalu banyak atau bahkan pengulangan ujian (retest) jika mayoritas siswa mendapatkan nilai merah. Jika nilainya kurang sedikit terhadap standar minimum, anak bisa menawar sang guru untuk menaikkan nilai tanpa harus melalui remedial. Hal ini memicu perilaku sebagian anak untuk tidak berusaha maksimal ketika menghadapi materi yang sulit karena mereka tahu pada akhirnya mereka pasti akan lulus, terlebih lagi guru akan mempermudah soal retest sehingga nilai yang diperoleh pada akhirnya tinggi. Sekarang lebih menyedihkan lagi, ada sekolah yang siswanya hanya perlu mengerjakan serangkaian tugas untuk memperbaiki nilai ujiannya yang jelek. Guru tidak berani memberikan lebih dari dua ujian berbeda dalam satu hari yang sama kepada siswanya dengan alasan takut mereka capek dan mendapatkan nilai yang jelek, padahal nantinya tantangan akan jauh lebih keras dan banyak ketika mereka kuliah dan kemudian bekerja. Hal yang tak jauh berbeda juga diterapkan menjelang kenaikan kelas. Ketika seorang anak memiliki nilai merah yang dianggap sedikit jumlahnya dan/atau tidak terlalu jauh dengan standar minimum, anak itu bisa naik kelas meski sang guru tahu bahwa sebenarnya anak itu tidak memahami apapun yang dipelajarinya dan tidak berusaha dengan keras untuk membuat dirinya lebih baik secara akademis. Seharusnya, kita kembali ke sistem sekolah zaman dulu. Standar minimum nilai siswa tidak perlu tinggi, tetapi siswa dituntut untuk bekerja keras dan mencoba memahami seluruh materi yang diajarkan. Lepaskan kisi-kisi dari genggaman mereka, demikian pula dengan remedial dan retest, kecuali apabila nilai jelek yang diperoleh siswa disebabkan oleh ketidakmampuan sang guru dalam mengajar dan guru tetap tidak mampu memberikan penjelasan yang memuaskan ketika ditanya oleh siswa. Tentu, dalam kasus ini posisi gurulah yang harus dievaluasi oleh sekolah, bukan? Ketika siswa tidak layak naik kelas, sebaiknya biarkan dia tinggal kelas dan memeroleh pemahaman yang lebih baik meskipun dia harus lulus sekolah lebih lama dan menangis. Apa gunanya siswa ini naik kelas jika dia hanya akan semakin tidak paham di jenjang yang berikutnya?

Perlu dicatat pula bahwa ini semua terjadi ketika sekolah masih memberikan pekerjaan rumah kepada para siswanya, apa yang terjadi jika PR dihapus dan siswa tidak pernah membawa pulang apapun untuk berlatih di rumah? Jika ada pihak yang berpikir untuk menghilangkan dan melarang adanya PR dari sekolah dengan harapan siswa akan menghabiskan waktu lebih banyak bersama keluarga dan teman-temannya, pikirkan ulang. Mereka harus berjuang sendiri untuk membagi waktu dengan baik bagaimana caranya mereka bisa mengerjakan PR tepat waktu, belajar mengulang materi yang sudah diajarkan, belajar materi yang akan diajarkan sebagai pengantar, memainkan perangkat pintar mereka, mengikuti kegiatan kerohanian, dan bersosialisasi bersama teman-teman, keluarga, serta masyarakat sekitar. Bahkan, dengan adanya PR, siswa akan belajar untuk mampu mengomunikasikan kesulitan dan bekerja sama dengan teman-temannya jika ada soal yang tidak bisa diselesaikan alias melatih kemampuan teamwork dan problem solving. Jangan biarkan daya juang para siswa ini semakin kendor dan biarkan PR memberikan manfaat kepada mereka baik secara akademis maupun latihan kedisiplinan diri.

Kedua, sekolah memberikan akses yang terlalu luas terhadap teknologi kepada siswanya. Usaha sekolah untuk menyediakan perangkat komputer berjaringan internet di perpustakaan memang patut diapresiasi. Usaha sekolah untuk membiasakan siswanya terhadap penggunaan teknologi melalui tugas yang membutuhkan komputer dan/atau internet patut diapresiasi. Usaha sekolah untuk mendekatkan guru dengan siswanya melalui komunikasi berbasis internet juga patut diapresiasi. Permasalahannya, hal ini membuat interaksi anak dengan dunia konvensional berkurang dan sesungguhnya hal ini tetap diperlukan. Komputer di perpustakaan misalnya, sering diserbu para siswa pada jam istirahat untuk bermain games sehingga interaksi sosial di antara mereka berkurang. Tugas dengan komputer dan internet mengurangi niat anak untuk mencari literatur dari sumber tercetak dan lama kelamaan mereka akan malas untuk berkreativitas dengan tangannya sendiri karena menggunakan perangkat lunak jauh lebih cepat dan mudah dengan hasil yang bagus.  Padahal, kita tahu bahwa tidak semua informasi di internet adalah benar dan lebih sulit dipercaya dibandingkan literatur tercetak yang pastinya sudah di-review terlebih dahulu sebelum terbit. Demikian pula dengan kreativitas menggunakan perangkat lunak yang pastinya memiliki keterbatasan. Harapan untuk membuat mereka mencari materi pembelajaran secara lebih mandiri dan mampu menerapkan teknik mencari literatur yang dapat dipercaya malah berbalik menjadi kehidupan serba mudah, serba instan, kurang kreativitas, dan asal copy-paste alias plagiarisme. Berkomunikasi dengan guru melalui perangkat pintar tentu sangat dibutuhkan untuk hal-hal yang bersifat darurat, tetapi hal ini membuat siswa terlalu manja. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk mengajukan pertanyaan atau masalah yang perlu diselesaikan bersama sang guru secara tatap muka karena mereka tahu mereka bisa mengutarakannya melalui perangkat pintar dan sayangnya hal ini terbilang kurang sopan untuk menghadapi orang yang lebih tua. Kita boleh membiasakan siswa dengan teknologi untuk menghadapi persaingan era global, tetapi hal-hal yang bersifat konvensional seperti komunikasi tatap muka, menulis, menggambar, dan membaca buku tetap harus berjalan.

Ketiga, sekolah kurang menekankan pentingnya perilaku siswa baik secara akademik maupun nonakademik. Di sisi akademik, para guru hanya berfokus pada nilai yang dicapai siswanya sehingga mereka semua lulus dengan pencapaian yang mampu mengalahkan siswa dari sekolah lain. Untuk itu, mereka membiarkan para siswa menempuh segala cara untuk bisa belajar dengan baik dan bahkan pelaku pembocoran soal antarkelas tidak mendapatkan hukuman serius.

Guru hanya berfokus menghadapi siswa dengan nilai yang jelek dan siswa berperilaku buruk tidak akan mendapatkan perhatian serius selama nilainya tergolong baik. Di sisi nonakademik, guru kurang mengawasi jalannya kegiatan ekstrakurikuler dan memercayakan pelaksanaannya kepada kakak tingkat. Hal ini memang mereka lakukan untuk tujuan yang baik, yaitu membiasakan para siswa untuk melakukan kegiatannya secara mandiri sekaligus belajar berorganisasi. Permasalahannya, praktek bermalas-malasan, senioritas, dan perlakuan tak wajar masih sering menghinggapi para siswa. Alih-alih tujuan akhir kegiatan tercapai, bisa jadi malah kegiatan ini memakan korban. Baru-baru ini kita mendengar berita tentang seorang siswi yang mengalami kelumpuhan setelah menjalani hukuman squat jump sebanyak sembilan puluh kali akibat datang terlambat ke unit kegiatan yang diikutinya di sekolah. Apa yang terjadi dengan masa depan siswa? Sirna sudah. Apa yang terjadi dengan orang tuanya? Hanya bisa berpasrah. Apa yang bisa dilakukan oleh sekolah untuk mengubah semuanya? Tidak ada. Kita tahu bersama bahwa olahraga apapun akan memberikan efek yang tidak baik jika dilakukan terlalu berlebihan dan hukuman seperti ini tentunya belum tentu bisa mendisiplinkan siswa, khususnya olahraga squat jump yang dinilai berbahaya oleh sebagian kalangan. Seharusnya, kegiatan ekstrakurikuler harus terawasi oleh guru sehingga mampu membuat siswa menjadi pribadi yang lebih baik sekaligus menjadikannya sebagai hal yang layak untuk dinikmati, bukan justru menghancurkan masa depannya.

Itulah tiga masalah utama yang sedang dihadapi sekolah kita hari ini. Tindakan harus segera diambil sehingga sekolah mampu menjadi tempat yang baik untuk membentuk generasi penerus bangsa yang mampu bersaing di kancah global baik secara kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Untuk itu, tidak hanya teori dan nilai bagus saja yang perlu dimiliki seorang siswa, sekolah juga harus mengajarkan anak untuk mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, bekerja secara konvensional maupun digital, memiliki perilaku yang jujur, sopan, dan disiplin, bijaksana dalam mengambil keputusan, dan memiliki daya juang yang tinggi untuk memberikan usaha terbaik sekalipun dalam perkara yang sulit hanya dengan satu percobaan. Ketika mereka menghadapi kenyataan hidup, semuanya hanya terjadi sekali, tidak dapat diulang, tidak dapat diperbaiki dan diubah di kemudian hari, serta memengaruhi masa depannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun