"Terkadang aku bingung. Mengapa orang tua betah menonton berita di televisi? Apa serunya menatap layar penuh angka dan konflik? Mengapa mereka menyisihkan waktunya untuk duduk diam di halaman depan, merenung sendiri? Bukankah akan lebih baik jika mereka mengisi waktu dengan percakapan, tawa, dan cerita?"
Itu pertanyaan yang sering terlintas di benakku saat masih remaja. Masa di mana dinamika dianggap sebagai lambang kehidupan dan keheningan terasa ganjil. Bagiku waktu harus penuh, harus bergerak, harus terisi. Aku tak pernah mengerti mengapa seseorang memilih menyendiri di tengah kehadiran orang lain.
Sampai akhirnya masa itu datang sendiri.
Ketika kita tumbuh, dunia mulai bergerak dengan cara yang berbeda. Hal-hal yang dulu terasa remeh mulai menunjukkan maknanya. Aku mulai mengerti bahwa tidak semua keheningan adalah kekosongan dan tidak semua percakapan membawa kedekatan.
Menonton berita bukan lagi sekadar menonton. Di balik berita yang ditayangkan setiap hari, ada kebutuhan untuk tetap terhubung dengan dunia luar--bukan untuk mencari sensasi, tetapi agar tidak merasa sendiri dalam kebingungan global. Ketika dunia terasa terlalu cepat, melihatnya dari layar kaca memberi kita semacam kendali, semacam pemahaman, meski sekilas.
Tentang halaman depan itu-tempat mereka dulu duduk diam sambil memandangi langit, daun yang gugur, atau anak tetangga yang bermain--aku mulai memahami, itu bukan tanda keengganan untuk berinteraksi, melainkan bentuk kontemplasi yang tulus. Di sana, mereka berdamai dengan hari, dengan tubuh yang menua, dengan hati yang mungkin menyimpan rindu-rindu lama.
Diam di halaman depan bukan bentuk menjauh. Itu adalah bentuk hadir--hadir sepenuhnya pada dunia yang mengalir di hadapan mereka dan pada diri sendiri yang perlahan-lahan belajar menerima. Ternyata, ada keindahan dalam tidak melakukan apa-apa. Ada makna dalam membiarkan waktu mengalir tanpa upaya mengendalikan segalanya.
Saat kita tumbuh dewasa, kita mulai memahami bahwa tak semua yang penting harus diucapkan. Ada cinta yang ditunjukkan lewat teh hangat yang disuguhkan diam-diam. Ada perhatian yang dititipkan lewat tanya singkat, "Sudah makan?" dan ada kerinduan yang disimpan dalam cara mereka memandang kita diam-diam dari kursi rotan halaman depan.
Kini aku tahu, keheningan yang dulu kuanggap asing, ternyata adalah bahasa juga--bahasa yang tidak semua orang paham saat muda, tetapi pelan-pelan akan dipelajari oleh siapa pun yang bersedia tumbuh dan mendengar.
Pada akhirnya, kita semua akan tiba pada masa di mana diam menjadi pilihan. Bukan karena tak ada lagi yang bisa dikatakan, tapi karena kita tahu, tak semua hal harus dijelaskan. Beberapa cukup dirasakan. Di halaman depan rumah. Dalam sunyi yang penuh makna.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI