Kasus suap Rp. 60 Miliar yang menyeret Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta telah membuka aib besar di dunia hukum Indonesia. Selama ini, kita menganggap jubah hakim dan ruang persidangan sebagai simbol sakral keadilan. Namun, di balik semua ritual hukum yang megah itu, tersembunyi praktik-praktik korup yang menggerogoti sendi peradilan. Ini bukan lagi soal penyimpangan individu, melainkan konspirasi terstruktur yang menjadikan hukum sebagai komoditas jual-beli. Jumlah uang yang dipertaruhkan pun fantastis: Rp. 60 Miliar. Ini bukan kisah hukum biasa, melainkan pengkhianatan terhadap rasa keadilan rakyat. Fakta menunjukkan, seorang ketua pengadilan negeri, dibantu panitera dan hakim-hakim lain, tak ragu mempermainkan hukum demi memperkaya diri.
Skandal ini bermula dari perkara ekspor minyak goreng yang menyeret tiga konglomerasi besar: Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group. Pelanggaran terjadi sejak Januari 2021 hingga Maret 2022, dengan potensi kerugian negara lebih dari Rp.17 Triliun. Jaksa menuntut sanksi berat, termasuk denda triliunan rupiah dan ancaman pencabutan izin ekspor. Taruhannya terlalu besar untuk diserahkan pada keadilan murni. Melalui tim hukum mereka, para pengusaha ini diduga menawarkan suap demi memuluskan jalan. Dua pengacara, Marcela Santoso dan Arianto, disebut sebagai perantara yang menyerahkan uang kepada Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta melalui Panitera Wahyu Gunawan. Arif lalu menunjuk tiga hakim: Juyamto, Agam Syarif Burhanuddin, dan Ali Muhtarom untuk memproses perkara dengan arah yang sudah diatur.
Proses negosiasi suap berlangsung gamblang. Awalnya, Rp. 20 Miliar ditawarkan, namun Arif meminta jumlah itu dinaikkan menjadi Rp. 60 Miliar. Ini menunjukkan betapa perkara hukum bukan lagi soal benar atau salah, melainkan soal harga. Uang suap diserahkan dalam dolar AS, dalam beberapa tahap. Tiga hakim menerima Rp. 4,5 Miliar lebih dulu, lalu Rp.18 Miliar berikutnya, sementara sisanya, Rp. 37,5 Miliar, masih buram keberadaannya. Panitera Wahyu Gunawan pun tak ketinggalan, menerima USD 50.000. Puncaknya, pada 19 Maret 2025, majelis hakim membacakan putusan yang mengejutkan: ketiga korporasi dianggap melakukan pelanggaran, namun dinyatakan bukan tindak pidana. Semua terdakwa pun lepas dari jeratan hukum, membuat publik terhenyak.
Atas perbuatannya, Muhammad Arif Nuryanta beserta enam tersangka lain kini resmi ditahan. Mereka menghadapi ancaman hukuman maksimal penjara seumur hidup. Mahkamah Agung menegaskan bahwa putusan bebas (onslag) tersebut belum berkekuatan hukum tetap karena jaksa langsung mengajukan kasasi. Artinya, putusan itu dapat dibatalkan apabila terbukti ada intervensi suap. Jaksa sebelumnya menuntut Wilmar Group membayar Rp. 11,8 Triliun, Musim Mas Rp. 4,8 Triliun, dan Permata Hijau Group Rp. 937 Miliar, beserta denda miliaran rupiah. Bila kewajiban itu tak dipenuhi, para pemilik perusahaan terancam penyitaan aset dan hukuman penjara.
Kejaksaan Agung bergerak cepat setelah putusan onslag dibacakan. Pada 12 April 2025, penggeledahan membuahkan hasil: dari tas Muhammad Arif ditemukan uang tunai dalam pecahan dolar AS, dolar Singapura, ringgit Malaysia, dan rupiah. Juga ada dua amplop berisi 65 lembar SGD 1.000 dan 72 lembar USD 100. Penelusuran berlanjut ke kediaman dan kantor para tersangka. Hasilnya mencengangkan: tujuh mobil mewah seperti Ferrari, Nissan GTR, dan Land Rover, tujuh sepeda lipat Brompton, serta 21 motor gede, termasuk Harley Davidson dan Triumph, ikut disita. Semua ini adalah hasil nyata dari praktik penghianatan terhadap hukum.
Ledakan kasus ini menghancurkan kepercayaan publik terhadap dunia hukum. Gelombang protes menggema di ruang publik. Mahfud MD, mantan Menkopolhukam sekaligus eks Hakim MK, menyatakan bahwa peradilan Indonesia telah "sangat busuk". Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua MK, bahkan menyarankan hukuman mati bagi hakim yang memperdagangkan keadilan. Harjuno Wiwoho, pengamat hukum, menegaskan perlunya audit menyeluruh terhadap lembaga peradilan, pembentukan badan pengawasan independen, dan segera disahkannya RUU Perampasan Aset untuk mengejar dan menyita kekayaan hasil korupsi.
Kasus suap Rp60 miliar ini harus menjadi peringatan keras bagi pemerintah dan semua pemangku kepentingan. Tak bisa lagi reformasi hukum hanya jadi jargon kosong. Sistem pengawasan terhadap hakim harus diperkuat. Komisi Yudisial, Mahkamah Agung, dan lembaga pengawas lain perlu diberi mandat dan sumber daya lebih luas untuk aktif mendeteksi praktik kotor di lingkungan pengadilan. Setiap audit kekayaan hakim harus dibuka ke publik. Putusan penting harus dipublikasikan dengan bahasa yang sederhana, agar rakyat bisa ikut mengawasi. Transparansi total adalah harga mati.
Tanpa langkah konkret dan menyeluruh, dunia hukum kita hanya akan terus menjadi panggung para pengkhianat keadilan. Jika korupsi di peradilan dibiarkan, maka hukum tidak lagi berpihak pada kebenaran, melainkan hanya pada yang sanggup membayar mahal. Momen ini seharusnya menjadi titik balik: momentum untuk memperbaiki dari akarnya. Sebab kalau tidak, kasus seperti ini hanya akan menjadi satu dari sekian banyak skandal masa depan, sementara rakyat terus menjadi korban ketidakadilan yang dilegalkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI