Di sebuah kedai kopi yang ramai di sore hari, seorang barista muda menyodorkan secangkir latte kepada pelanggan yang tengah sibuk menatap layar ponsel. "Ini pesanannya, Mas," katanya ramah. Namun, si pelanggan hanya mengangguk singkat tanpa menoleh, lalu kembali tenggelam dalam dunianya sendiri. Tak ada senyum. Tak ada ucapan "terima kasih."
Barista itu tidak berkata apa-apa. Wajahnya tetap datar, tetapi sorot matanya sempat berubah. Mungkin kecewa, mungkin sudah terbiasa.
Fenomena semacam ini bukan hal baru. Di tengah dunia yang serba cepat, bising, dan dipenuhi distraksi, dua kata sederhan, "terima kasih", kian jarang terdengar. Padahal, ucapan itu tidak membutuhkan biaya, tidak menguras waktu, dan bahkan hanya butuh beberapa detik untuk diucapkan.
Mengapa jadi begitu sulit?
Sebagian orang terbiasa menganggap bantuan orang lain sebagai kewajiban. Dalam relasi yang sudah dekat, seperti teman, pasangan, rekan kerja, kebaikan dianggap sebagai hal lumrah, bahkan kadang tak perlu dihargai secara eksplisit. Padahal, di balik setiap tindakan baik, ada niat dan usaha yang patut disadari.
Lain lagi dengan mereka yang merasa mengucapkan terima kasih berarti menurunkan ego. Rasa sungkan, gengsi, atau bahkan perasaan lebih superior bisa menjadi tembok yang membatasi ekspresi apresiasi. Padahal, menghargai orang lain bukan tanda kelemahan, melainkan cerminan kematangan emosi.
Dan sering kali, kita lupa karena tidak terbiasa. Sejak kecil, mungkin tidak semua dari kita diajarkan untuk mengucapkan terima kasih secara tulus. Maka saat dewasa, kata itu terasa asing, kaku, bahkan sulit keluar, meski sebenarnya sangat dibutuhkan.
Padahal, manfaatnya luar biasa. Ucapan terima kasih mampu mempererat hubungan, membangun kepercayaan, dan meningkatkan rasa bahagia baik bagi yang memberi maupun yang menerima. Di tempat kerja, itu bisa menjadi motivasi yang lebih kuat dari bonus. Dalam hubungan pribadi, itu menjadi pelumas dalam menghadapi gesekan emosional.
Lebih jauh lagi, berterima kasih adalah latihan bersyukur. Saat kita terbiasa mengucapkannya, kita cenderung lebih peka terhadap kebaikan-kebaikan kecil di sekitar. Dan dalam kehidupan yang serba menuntut ini, rasa syukur adalah penawar stres yang paling alami.
Mungkin sudah waktunya kita berhenti sejenak dan bertanya: kapan terakhir kali kita mengucapkan terima kasih? Bukan karena formalitas, tetapi karena benar-benar ingin menghargai?